19 - Kembali

1.7K 203 12
                                    

.

..

...

"Viv!" seruan-seruan itu memanggilnya dan langkah-langkah kaki yang berlarian terderngar dari dalam rumah. Seseorang telah menggapai Katya lebih dulu daripada yang lain dan beberapa orang kini mengerumuninya.

"Katya," suara itu menyadarkannya, dan sebuah kelegaan kini menghinggapi benak Katya saat wajah Raymond memandangnya dengan khawatir. Mata pria itu memerah menahan tangis melihat keadaan Katya yang penuh luka dan darah di sekujur tubuhnya.

"Ray," bisiknya.

"Viv," Niou mendekatinya memberi pandangan penuh arti. Katya mengangguk dan Niou dengan cepat menyuntikkan cairan pada Katya. Tak lama Katya memandang kosong pada Ramond dengan detakan jantung dan napas yang berhenti. Raymond menarik napas terkejut. Ia pernah melihat Katya meregang nyawa di hadapannya dan hari-hari yang dilalui Raymond tidak pernah sama lagi.

"Katya!" Raymond mengguncangkan tubuh Katya di pelukannya. "Apa yang kau lakukan?" desis Raymond dengan marah pada Niou.

"Kau tidak lihat? Viv mengeluarkan banyak darah. Aku hanya berusaha menghilangkan penderitaannya sejenak." ujar Niou tanpa rasa bersalah. Pria itu memandang arlojinya. "Selama menunggu Viv kembali tersadar lebih baik kita membawanya pulang."

"Night O'Brien sudah tewas. Kulihat sepertinya dia tersandung saat hendak menyerang Viv." ujar Robert.

"Saatnya kita semua kembali." Allegra mengingatkan.

...

Raymond memasuki Monster's House dengan membawa tubuh Katya yang mendingin. Regu penolong yang masih berkumpul di Monster's House memandangi Katya yang dibawa Raymond. Josh dan Niou membiarkan Raymond membawa Katya ke dalam dan keduanya berhenti di depan pintu Monster's House untuk memberi instruksi selanjutnya.

Lorong di Monster's House terasa menyiksa Raymond yang masih membawa Katya. Dua puluh menit berlalu, Katya masih belum membuka matanya dan tanda-tanda kehidupan pun masih belum dirasakan Raymond. Pria itu begitu takut tidak bisa melihat Katya lagi untuk selama-lamanya. Ia tidak akan sanggup untuk menghadapi hari esok dengan kenyataan bahwa Katya benar-benar tidak ada di dunia ini lagi.

Lucy meletakkan baskom berisi air hangat dan juga handuk di atas nakas kamar Katya. Lucy ragu-ragu memandangi Raymond yang masih mendekap Katya.

"Bisa tinggalkan kami?"

Tanpa mengucapkan apa-apa Lucy keluar dari kamar Katya dan menutup pintu. Raymond memandangi Katya yang masih berlumur darah, baik itu yang kering dan basah. Pria itu menghembuskan napasnya yang terasa sesak. Runtuhlah sudah pertahanan Raymond melihat Katya yang seperti ini. Ia menggenggam tangan Katya dan memejamkan matanya untuk mengusir air matanya yang tak berhenti mengalir. Ia bukan orang yang religius. Dia sudah berhenti pergi ke kuil sejak kematian Amanda. Tapi untuk sekali ini saja ia memohon kepada Tuhan agar mengembalikan Katya padanya.

"Ray,"

Raymond membuka matanya dan ia beradu pandang dengan mata Katya yang teduh itu. Raymond mulai merasakan suhu tubuh Katya kembali ke normal dan melihat dada wanita itu yang naik turun menandakan bahwa ia sudah bernapas membuat Raymond semakin keras menangis sekaligus tertawa. Ia memeluk Katya dengan erat hingga membuat Katya merasa tubuhnya sedikit kebas.

"Ada banyak sekali yang ingin kukatakan padamu." bisik Katya. "Tapi, aku ingin membersihkan diriku terlebih dahulu."

"Ya, tentu sayang." balasnya.

Katya terdiam selama beberapa saat. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa yang ditangisi pria itu saat ini? Dirinya kah atau Vivian Meyer? Karena Katya yakin sekali Raymond belum mengetahui bahwa ia adalah Katya Van de Berg.

...

Katya memandangi air yang berjatuhan dari tubuhnya dan darah berangsur-angsur meluruh di bawah kakinya. Ia menarik napas dan rasa linu mulai terasa di sendi-sendinya saat ia mengingat luka apa saya yang telah dideritanya selama beberapa hari terakhir. Katya memeluk menyilangkan tangannya di depan dada dan serangan panik itu membuatnya tiba-tiba sulit untuk bernapas.

Sebuah tangan hangat menarik bahunya dan Katya memandang wajah Raymond yang terlihat lemas. "Ada apa?"

Katya menghembuskan napas lega. Ia menggeleng dan langsung memeluk pria itu. Ia bisa merasakan kedua tangan raymond menggosok pelan kulitnya yang masih ditempeli darah yang mengering. Detak jantungnya yang sudah tenang saat serangan panik tadi kembali berdebar saat ia menyadari ketelanjangannya di hadapan Raymond. Dan walau tindakannya menyebabkan pakaian pria itu ikut basah, tapi ia tidak mau melepaskan pria itu.

"Bisa kau melepaskan aku sebentar?"

Katya terhenyak sedikit kecewa.

"Aku ingin melepaskan pakaianku sejenak."

Katya melepaskan Raymond dan cepat-cepat berbalik menghadap dinding dengan wajah yang memerah. Air hangat yang turun dari shower semakin membuat panas suasana. Dengan gerakan yang gugup Katya menarik sejumput rambutnya seolah berusaha membersihkannya untuk menyamarkan tubuhnya yang mulai bereaksi aneh.

Katya sedikit berjengit kaget saat Raymond mengusap bahunya dan memeluknya dari belakang. "Rasanya seperti bermimpi aku bisa memelukmu lagi." bisiknya.

Tubuh Katya meremang.

"Aku tidak akan melepaskanmu lagi."

Katya melepaskan pelukan Raymond dan memberanikan diri berbalik menghadap pria itu. "Saat kubilang banyak yang ingin kukatakan padamu, aku..."

Raymond terdiam menunggu jawaban Katya. Sedangkan wanita itu mengalihkan padangannya dengan keragu-raguan. Raymond dengan perlahan menarik dagu Katya dan memandangnya dengan senyum. "Katakanlah, Katya."

"Aku-" Katya mengerjap kaget. "Mengapa kau memanggilku Katya?"

Raymond sedikit terkejut. Tiba-tiba ia dilanda perasaan bersalah. Ia baru saja ingat bahwa wanita dihadapannya sudah berganti nama. Namun, ia tetap tidak perduli. Siapa pun wanita dihadapannya ini, Raymond tetap mencintainya. Namun kalimat berikutnya yang keluar dari Katya telah melegakan hatinya.

"Apa seseorang sudah memberitahumu? Kurasa tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi." katanya dengan wajah sedikit murung. "Ingatanku kembali karena pukulan keras di kepalaku."

"Kau mengingat semuanya?"

Katya mengangguk dan air matanya mengalir bercampur dengan air shower yang berjatuhan. Raymond memeluknya dengan erat dan menciumnya dengan menggebu-gebu. "Kukira kau tidak akan bisa mengingatku lagi. Mengingat Amanda, mengingat betapa kau dulu mencintaiku."

Wajah Katya memerah.

"Aku memutar video itu setiap hari hanya untuk mendengar pengakuanmu yang begitu menggemaskan." katanya sambil mengecupi bahu Katya yang kini mulai memerah. Katya berusaha menahan diri untuk berkonsentrasi saat ia dapat merasakan sentuhan-sentuhan Raymond di tubuhnya. "Video itu selalu mengingatkanku betapa terlambatnya aku menyadari perasaanku padamu."

Kedua mata Raymond memandang mata Katya yang sayu.

"Aku mencintaimu, dan aku ingin selalu bersamamu."

...

..

.

Vivian MeyerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang