"Lima belas menit lagi," ucapku memecah kesunyian. Kuperhatikan wajah mereka satu persatu sambil mengitari ruang kelas. Tok...tok...tok.... Benar-benar sunyi. Hanya ada suara high heels-ku yang beradu dengan lantai. Wajah-wajah tegang bersimbah keringat duduk dengan gelisah di depanku. Entah kenapa aku menyukai suasana seperti ini. Suasana yang sengaja aku ciptakan setiap kali ujian, baik tengah semester maupun akhir semester. Aku paling benci mendapati mahasiswa yang mencontek. Bagiku, kejujuran adalah hal yang utama. Toh sudah pernah aku sampaikan di awal perkuliahan dulu, selama presensi bagus, tugas-tugas lengkap, ikut UTS dan UAS, maka sudah dipastikan bisa lulus pada matakuliahku. Simpel, bukan? Mereka hanya perlu berjuang untuk mendapatkan nilai A, B, atau cukup pasrah dengan nilai C saja.
"Bu," Zulkifli mengacungkan tangan.
"Sudah? Silahkan dikumpulkan," ucapku masih menjaga sosok anggun bersahaja yang kuciptakan di kelas ini. Bukan apa-apa, mereka hampir semuanya sudah bekerja, bahkan sudah sarjana. Jadi, tidak menutup kemungkinan bahwa diantaranya ada yang berusia di atasku. Ah, aku jadi teringat ucapan Eliska kemarin. Benarkah Zulkifli berusia di atasku? Entahlah.
"Lima menit," ucapku lagi diikuti kegelisahan yang semakin terpancar di wajah para mahasiswaku. Aku tertawa di dalam hati.
"Bu," panggil laki-laki di ujung sana.
"Cieeee,"
"Ehem ehem,"
"Ade, rek!"
"Suit suiiiitt,"
Aku membulatkan mata. Kelas mendadak gaduh setelah laki-laki dengan muka pias tadi menghadapku. Dia menyeka keringat yang mengucur di wajahnya. Aku mengernyitkan dahi, ada apa, sih? Dia masih mematung dengan tangan tergetar menggenggam lembar jawaban.
"Silakan dikumpulkan!" ucapku nyaring memerintahkan laki-laki itu, mahasiswaku, untuk menghentikan kegaduhan yang disebabkannya. Dia berjalan menunduk. Masih dengan tangan tergetar, dia memberikan kertas yang berisi lembar jawabannya. Kelas kembali ramai dengan sorakan mahasiswa yang lain. Ah, ada apa ini? Kenapa mereka menyoraki laki-laki itu denganku? Ah, yang benar saja, mereka mulai tidak sopan rupanya. Berani-beraninya menyoraki dosen. Aku melihat nama yang tertera di lembar jawaban mahasiswa tadi. Ade Kurniawan. Bukan mahasiswa yang menonjol, jadi wajar jika aku tidak tahu namanya.
"Oke, waktunya sudah habis, silahkan dikumpulkan!" ucapku kejam. Eh tidak, tidak terlalu kejam. Aku masih tetap menjaga image anggun bersahaja. Hanya sedikit lantang, untuk menghentikan sorakan mereka. Benar saja, satu persatu mereka berlarian mengumpulkan jawaban. Aku tersenyum puas. Melangkah keluar kelas. Eh, sebentar, sepertinya segerombol yang di belakang sana masih asyik menulis jawaban.
"Sampai hitungan ketiga, lembar jawaban tidak saya terima lagi!"
"Buuuuu,"
"Bu, tunggu, Bu,"
"Satu!" ucapku.
"Sebentar, Bu,"
"Bu,"
"Buuuu,"
"Dua!" kataku lagi.
"Tunggu, Bu," mereka berlarian menyerahkan lembar jawabannya. Aku mengulum senyum memperhatikan wajah-wajah frustasi yang tidak rela mengumpulkan hasil kerjanya sendiri.
"Tiga!" ucapku tepat di ujung pintu lalu aku berjalan melenggang keluar kelas. Sepertinya semua mahasiswa telah mengumpulkan lembar jawabannya. Nyatanya sudah tidak ada lagi yang berlarian mengejarku. Aku menuruni tangga sembari tersenyum puas di dalam hati. Hari ini aku bisa melakukan evaluasi pembelajaran dengan sangat objektif, aku rasa. Eh, tapi tunggu dulu. Sepertinya ada yang kurang dengan bawaanku. Berpikir sejenak. Mengingat-ingat, apa ada yang tertinggal?
"Astaga!" rupanya aku meninggalkan tasku di ruang kelas tadi. Ah, jadi bagaimana caranya aku mengambil tasku? Gak mungkin banget kan, aku balik ke kelas lagi lalu ngeloyor mengambil tas? Mau taruh di mana mukaku?
Aku mempercepat langkahku menuruni tangga menuju ruang dosen di lantai bawah sembari merutuki keteledoranku. Mataku menangkap sesosok mahasiswa yang tidak asing sedang berdiri di ujung tangga sana. Ah ya, dia mahasiswa yang gemeteran tadi. Kalau tidak salah, namanya Ade.
"Ade," panggilku.
Dia tergagap, "Eh ehm iya, Bu," jawabnya.
"Ambilkan tas saya di ruangan tadi," ucapku datar. Ah, sebenarnya malu sekali aku melakukan ini. Tapi akan lebih memalukan lagi jika aku sendirilah yang kembali ke kelas itu untuk mengambil tasku.
"Ii.. iya, Bu." dia menjawabku dengan terbata-bata. Ah, kenapa dia sebenarnya? Sepertinya dia menyukaiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR KONSTANTA [SUDAH TERBIT]
RomanceKisah tentang Ibu Findia, Dosen Matematika yang mengalami putus cinta hingga berulang kali. "Nasibku kok gini amat ya, Zul? Apa aku sama kamu aja kali ya?" "Boleh, Bu." "Hahaha. Bercanda, Zul, bercanda." "Tapi saya serius, Bu." "Haaa? Apa, Zul? "Sa...