2

5.8K 464 18
                                    

"Ssshtt, Zulkifli tuh!"

Mataku mengekori gerak mata Eliska. Selang dua meja di seberang, nampak Zulkifli, dan ketiga temannya sedang makan sembari memegang kertas dan mencorat-coretnya. Sepertinya mengerjakan tugas. Entah tugas kampus atau tugas di tempat kerjanya. Ya, kampus tempatku mengajar, Institut Bina Utama (IBU) Malang memang menyediakan kelas untuk mereka yang sudah bekerja. Jam pembelajaran bisa diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan dan tentunya masih sesuai dengan ketentuan dari kemenristek dikti. Keren, kaaaaan?

Ah, IBU memang keren. Belum lagi dengan murahnya biaya kuliah di sini. Coba bayangkan! Di saat SPP anak SD saja sudah 500.000 per bulan, kuliah di sini malah satu juta per semster. Kuulangi, satu juta per semester! Entah bagaimana caranya bapak rektor mengatur keuangan kampus ini. Yang pasti, kami para dosen di sini tidak digaji dengan murah.

"Gitu amat, Bu, lihatinnya?"

"Hm?" aku lupa ada Eliska di sini.

"Gimana si Zul?"

"Berondong, El,"

"Ibu Findia Radisa Putri yang terhormat, tadi aku sudah bilang, kan, dia lebih tua darimu!"

Jika Eliska sudah menyebutkan nama lengkapku, itu artinya dia tidak mau dibantah. Jadi lebih baik aku diam, konsentrasi menghabiskan makanan yang tepat berada di depanku. Tak kupedulikan Eliska yang sedang menatapku dengan tatapan jengah. Aku sedang tidak ingin membahas si mahasiswa itu sekarang. Entah mengapa rasanya terlalu lelah untuk mebicarakan seorang laki-laki. Terlalu lelah untuk berharap aku akan menikah dalam waktu dekat ini. Terlalu lelah untuk memikirkan di mana jodohku saat ini berada.

"Fin, ada penelitian dana internal nih," Eliska menyodorkan HP yang berisi pengumuman dari Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P2M). Disebutkan bahwa P2M menerima proposal usulan penelitian yang akan didanai oleh kampus. Aku tersenyum sumringah. Lihat, betapa kerennya IBU ini, bahkan ia tidak lupa menyisihkan dananya untuk penelitian para dosen.

Oh iya, biar kalian juga tahu, penelitian merupakan tugas wajib bagi seorang dosen. Sama wajibnya dengan melakukan pengajaran. Setiap tahun, idealnya seorang dosen melakukan satu kali penelitian. Kata kepala P2M sih, dosen tanpa penelitian itu ibaratnya manusia tanpa napas. Mati, dong, ya! Hahaha.

Aku paling suka melakukan penelitian. Lebih tepatnya, sih, suka dengan kelebihan dana yang kudapat dari hasil penelitian itu. Ups, jadi terasa deh matrenya. Namanya juga perempuan, ya, kan? Wajib, dong, matre. Eh, bukan matre, sih. Gak enak juga disebut matre. Tapi berusaha realistis saja, bahwa hidup ini butuh uang. Ya, tentu saja aku butuh uang untuk membayar KPR, belanja tas, sepatu yang lucu-lucu. Ah, untungnya cicilan motorku sudah lunas.

Siapa tahu sisa dana penelitian tahun ini bisa kubelikan mobil. Oh, ini terlalu khayal. Hahaha. Jelas tidak mungkin. Dana yang didapat saja cuma seharga motor, gimana sisanya mau dibelikan mobil? Khayal! Lupakan! Ini kondisi dosen yang sesungguhnya, ya. Kalau dikisahkan dalam novel itu ada dosen muda yang sudah punya mobil, dapat dipastikan itu mobil orang tuanya atau dia puanya pekerjaan lain selain menjadi dosen. Itu juga salah karena sejatinya pekerjaan dosen adalah sebuah pekerjaan profesional yang tidak bisa disambi-sambi.

"Ada ide proposal?" tanyaku pada Eliska yang telah menyelesaikan makannya.

"Paperless untuk Anvar Riil?"

"Oke catat. Aku atau kamu nih ketuanya."

"Kamu aja, kan kamu pengampunya."

"Sudah ada ide solusinya?"

"Pikirkan nanti."

"Logistik sudah diisi kok logikanya belum jalan juga, Bu?" Eliska tertawa keras menyambut ledekanku.

MENGEJAR KONSTANTA  [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang