11

3.4K 321 4
                                    

Eliska tertawa sekeras-kerasnya begitu masuk ke ruang dosen setelah selesai penelitian bersamaku.

"Beneran, Fin, aku gak nyangka si Ade bisa gitu ya, sampe gitu banget." Aku mendengus kesal. Eliska masih juga tak berhenti tertawa.

"Ada apa, sih?" Sinta kepo. Iyalah pasti, Eliska masuk ruang dosen langsung tertawa ngakak begitu.

"Ada mahasiswa yang suka sama Findia." Aku terbelalak mendengar Eliska berbicara tanpa disaring. Dia masih belum berhenti tertawa.

"Siapa?" Kali ini Bu Dewi ikutan nimbrung.

"Ade 16 B," jawab Eliska cepat dan tepat.

"Haaaa, gimana ceritanya?" Bu Dewi terbelalak.

"Bu Fiiiiiiinn, kok bisa dia?" Sinta ikutan histeris.

Aku mengangkat kedua bahuku malas, "Ya gitu, deh."

"Gitu deh, gimana? Sejak kapan si Ade jadi kayak gitu? Asli itu bukan dia banget!" Eliska sudah berhenti tertawa. Kali ini dia melihatku serius. Sepertinya suasana bercanda sudah hilang.

"Ya mana aku tahu! Aku gak terlalu merhatiin, sih, dari kapan. Tapi dia emang suka salting dan gemeteran gitu," jawabku acuh sambil memain-mainkan HP di tangan.

"Pernah apa gitu, Bu?"

Aku menggeleng tegas. "Mana berani? Ketemu aja gemeteran begitu," tandasku.

Eliska kembali tertawa keras.

"Trus, Fin, kamu sendiri gimana?"

"Gimana apanya?"

"Ada rasa-rasa apa gitu?"

"Rasa strawbery? Mangga? Melon? Ish, yang benar saja?" jawabku. Sinta dan Bu Dewi tak menanggapiku lagi meski masih ada sisa senyuman di muka sumringahnya. Aku kembali menekuni HP-ku, membuka WA yang tak tersentuh selama tiga jam sepanjang masuk kelas tadi.

Aku benar-benar enggan untuk meladeni si Ade ini. Katakanlah benar dia ada rasa sama aku. Tapi dengan sikapnya yang begitu, justru malah terkesan seperti bocah, bukan? Dengan usiaku yang sekarang tentunya aku sudah tidak punya waktu lagi untuk meladeni hal-hal yang seperti itu. Aku mencari pria dewasa, aku butuh sosok suami, aku mengejar seserang yang entah belum kuketahui siapa dia, di mana dia. Misteri, seperti sebuah konstanta pada kalimat terbuka dalam matematika.

"Btw, Fin, kalau matakuliahmu mereka emang kayak gitu ya?" tanya Eliska.

"Untuk Anvar Riil ini iya."

"Syerem tau, Fin!"

Aku tergelak, "Yang salah akunya apa matakuliahnya?"

Matakuliah Analisis Variabel Riil entah kenapa rasanya seperti hantu saja. Terkesan seram dan ditakuti. Sudah lama aku berusaha mencari model pembelajaran yang pas untuk matakuliah ini. Jika kubuat santai, mereka justru tidak mendapat apa-apa. Terlalu banyak bercanda hingga melupakan materi inti. Jika kubuat tegas, mereka spot jantung. Katanya tidak baik mengajar dengan cara seperti ini. Tapi justru dengan seperti ini, mereka bisa belajar Analisis Variabel Riil dengan lebih baik.

"Gak mau menanggapi si Ade, Fin?"

"Kayak gak ada kandidiat lain yang lebih oke aja."

"Zulkifli." Eliska menjawab cepat. Aku memijit kedua pelipisku. Penat. Nama itu kembali diusulkan Eliska untuk ke sekian kalinya. Aku melihat Eliska dengan tatapan jengah. Seandainya hanya ada dua pilihan, Ade dan Zulkifli, lalu aku harus memilih salah satu diantaranya, pilihanku sudah pasti jatuh pada Zulkifli. Pintar, sopan, dan sepertinya punya wawasannya luas.

Tapi tak ada sesuatu apapun antara aku dan Zulkifli, selain hubungan antara dosen dan mahasiswanya. Juga tak ada rasa apapun untuknya. Hambar dan biasa saja. Tapi, seandainya Zulkifli bergerak maju, aku tidak yakin bahwa aku akan tetap biasa saja. Entahlah.

Mataku menangkap ada WA masuk dari Zaky. Ah, dia. Dia juga biasa saja. Sesosok teman lama yang muncul kembali. Tak ada rasa apapun. Tapi juga entah, seandainya dia mendatangiku untuk mengajak lebih dari sekadar teman lama. Aku yakin, aku pun tak bisa menolaknya.

Fin, nanti malam ada acara?

Gak ada. Ada apa?

Boleh main ke rumahmu?

MENGEJAR KONSTANTA  [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang