Tepat pukul tujuh malam, Zaky datang dengan membawa kue artis. Ya, aku lebih suka menyebutnya kue artis saja dibandingkan dengan mengatakan makanan khas Malang seperti yang digembor-gemborkan para artis itu. Gara-gara bermunculan jajanan artis-artis yang mengklaim sebagai oleh-oleh khas Malang, Keripik Tempe Sanan yang asli milik Malang malah jadi terkubur. Kan kasihan para UKM Keripik Tempe Sanan.
Aku menata kue artis yang telah kupotong dengan rapi di piring, lalu kuletakkan di atas nampan disandingkan dengan minuman coklat panas. Makanan ringan juga sudah kusiapkan untuk teman mengobrol malam ini. Dan, ah, Zaky kenapa terlihat ganteng sekali. Kemeja softblue yang dilapisi dengan rompi navy, lalu celana jeans, sungguh pas sekali ia gunakan. Jam tangan berwarna hitam melingkar di tangan kokohnya menambah kesan gantengnya naik lagi satu oktaf.
"Gimana penelitianmu?"
Kalimat pertama yang keluar dari Zaky. Tolong. Kenapa harus membahas tentang pekerjaan, sih? Dari sekian hal yang bisa dibahas, harus banget gitu bahas penelitian.
"Masih proses," jawabku malas. Zaky hanya ber'o' ria, lalu diam. Aku pun ikut diam, berpikir tentang apa yang bisa dibahas dengan seorang teman lama yang tiba-tiba muncul kembali. Aku menyesap minuman coklatku pelan. Zaky juga sedang meminum minumannya.
"Sabtu malam ada acara?"
"Haaa?"
"Aku mau ngajak kamu ke kondangan. Temanku nikah. Gak asyik aja kalau ke sana sendirian."
Terlalu terkejut. Tak lekas menjawab pertanyaannya, aku memilih mengambil makanan di depanku dan mengunyahnya pelan. Duh, Tuhan, aku harus jawab apa ini?
"Kamu sama Enos sudah selesai, kan?"
Aku terperanjat. Mataku mebulat dengan sempurna.
"Su... sudah," Jawabku cepat, tapi tergagap. Sama sekali tak menyangka harus mendengar nama itu lagi malam ini. Aku menyuapkan kembali kue artis yang mendadak terasa hambar.
Ingatanku melayang pada dia, orang yang tak ingin kusebut namanya. Mantan tunanganku. Aku tidak berbohong jika kukatakan bahwa aku dan dia sudah selesai. Tapi tidak sepenuhnya jujur juga. Aku telah memutuskan lamarannya, mengatakan pada ayahku yang menerima lamaran dia dulu, bahwa aku tak bisa melanjutkannya lagi.
Rasanya tak akan ada satupun wanita yang tidak bersikap sepertiku, setelah seseorang datang melamarmu, membawa kedua orang tuanya datang kepeda orang tuamu, hingga menentukan tanggal pernikahan. Lalu tiba-tiba dia mengatakan bahwa dia tidak pernah mencintaimu. Mengatakannya hingga tiga kali, dalam kurun waktu tiga bulan terkhir. Tidak ada komunikasi apapun, kecuali sebuah kalimat pernyataan bahwa ia tidak mencintaimu. Katakan, apa yang akan kau lakukan?
Beberapa bulan sejak ia--yang tak ingin kusebutkan namanya--dipindahtugaskan ke Surabaya, mau gak mau kami harus LDR. Awalnya tidak ada masalah. Toh Surabaya-Malang tak terlalu jauh. Satu atau dua minggu sekali jika dia datang ke Malang, dia akan manemuiku. Semakin lama, entah apa mulanya, hubungan kami menjadi renggang. Kadang Enos hanya menghubungiku sekali saja dalam seminggu. Aku tidak menganggapnya sebagai suatu masalah besar saat itu. Dia tunanganku, ini hubungan yang dewasa, dan aku percaya padanya.
Hingga suatu ketika, Julia adik Enos bertanya, mengapa aku tidak datang ke pernikahannya. Tentu saja itu membuatku terbengong-bengong. Aku tidak pernah menerima undangannya dan Enos sama sekali tidak memberitahukan apapun padaku. Salahkah jika saat itu aku merasa tidak dianggap? Aku tunangan Enos, tapi aku tidak diundang saat pernikahan adiknya.
Aku krisis kepercayaan diri. Setidak-penting itu kah aku untuknya? Aku ini apanya dia sih? Maka saat itu, empat bulan yang lalu, meluncurlah sebuah pesan singkatku via WA.
Kamu sayang sama aku?
Dan balasan Enos saat itu adalah,
Tidak
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR KONSTANTA [SUDAH TERBIT]
RomanceKisah tentang Ibu Findia, Dosen Matematika yang mengalami putus cinta hingga berulang kali. "Nasibku kok gini amat ya, Zul? Apa aku sama kamu aja kali ya?" "Boleh, Bu." "Hahaha. Bercanda, Zul, bercanda." "Tapi saya serius, Bu." "Haaa? Apa, Zul? "Sa...