"Kok kamu baru cerita sekarang, sih?" kesalku.
"Dulu, waktu bikin proposal aku sudah bilang kan, aku dapat ide dari mahasiswa."
Aku mengangguk. Aku ingat tentang itu.
"Tapi kamu gak bilang kalau mahasiswa itu Zulkifli," kataku lagi.
"Emang waktu itu kamu kenal Zulkifli?"
Aku menggeleng. Eliska menoyor kepalaku. "Dasar!"
"Kenapa tadi waktu mau berangkat gak bilang? Kemarin? Waktu tahu proposal kita di ACC?" aku masih ngotot mengeluarkan kekesalanku pada Eliska. Ya, bagiku memang semenjengkelkan itu.
Eliska memicingkan matanya, melihatku dengan tatapan aneh. Lalu dia berjalan lagi, mengejar dua manusia laki-laki yang sudah berjarak agak jauh di depan kami.
"El," panggilku lagi. Masih dengan kesal.
"Kenapa kamu sekesal ini, Fin?" tanya Eliska.
Aku diam. Mencerna pertanyaan Eliska. Kenapa aku sekesal ini? Ini bukan masalah besar seharusnya. Bahkan ini bukan masalah.
Selepas solat duhur, kami menuju rumah Zulkifli dan makan siang di sana. Katanya, ibunya sudah menyiapkannya. Aku tidak menolak lagi. Sudah sangat lapar. Nasi tiwul, ikan asin, sambal, labu dan terong rebus, tempe goreng, telor dadar, benar-benar membuatku kekenyangan. Makanan khas masakan desa begitu memanjakan lidahku siang menjelang sore ini.
"Fin, ke sini tuh kalau belum ke Coban Pandowo, belum pas rasanya," kata Eliska.
"Apa itu?"
"Air terjun. Bagus banget! Sumpah!"
Mataku berbinar, "Ayo ke sana," ajakku.
"Jangan!" larang suami Eliska cepat.
"Kenapa, mas? Kata Eliska bagus?"
"Medannya. Eliska kan lagi hamil."
Aku diam. Tidak berani mendebat suami Eliska. Sungkan. Tapi aku ingin ke sana.
"Mau saya antar, Bu?" Zulkifli bersuara. Aku menoleh.
"Nah, tuh, sama Zulkifli aja," kata Eliska.
"Kami tunggu di sini," suami Eliska mendukung usulan Eliska.
"Sudah, sana!"
"Kapan-kapan aja deh," kataku.
"Tunggu aku lahiran?" Eliska terkekeh.
"Berangkat saja, Mbak Findia."
Aku masih ragu.
"Mari, Bu," Zulkifli mengajakku lagi.
Dengan canggung, aku akhirnya mengikuti langkah Zulkifli menyusuri jalan, lalu masuk ke sebuah gerbang bertuliskan 'Welcome: Coban Pandowo'. Lalu melewati jalan setapak dengan kiri kanan jalan yang ditumbuhi pohon salak.
Jalanan yang terjal membuatku ngeri menapakinya. Aku takut untuk melangkah. Zulkifli berhenti berjalan, menoleh, lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku. Aku menyambut uluran tangannya. Eh, kok aku kikuk ya?
"Masih jauh, Zul?" tanyaku.
"Sebentar lagi, Bu. Itu suara airnya sudah terdengar."
Aku berjalan lagi. Ingin lekas sampai. Sudah capek. Beberapa saat kemudian, aku terpaku melihat suguhan pemandangan di depanku.
"Masyaallah, bagus sekali," lirihku.
"Kami sedang mengusahakannya menjadi objek wisata, Bu." aku menoleh melihat Zulkifli. Dia berucap tidak melihat ke arahku, tapi melihat ke arah air terjun. Aku mengikuti arah pandangnya, memperhatikan air yang mengalir begitu indah.
"Tapi berapa lama, sih, orang akan betah melihat Coban Pandowo ini? Paling lama tiga puluh menit. Setelah itu mereka mau apa? Pulang begitu saja? Sayang sekali dengan jarak tempuh perjalanannya," katanya. Aku mendengarkan. Tidak tahu harus menimpali apa.
"Saya pikir, kenapa tidak dibuat tour wisata saja. Di sini kami punya kopi, kami punya salak. Teman-teman dari Brawijaya sedang membantu kami untuk kopi ini. Bersyukur sekali Bu Eliska waktu itu setuju dengan usulan pengolahan salak."
Aku masih setia mendengarkan.
"Harapan saya, salak yang keluar dari sini sudah berupa produk olahan. Jangan lagi dijual buahnya, biar petani salak bisa lebih bagus penghasilannya. Jadi setelah wisatawan melihat Coban Pandowo, mereka akan melanjutkan dengan studi wisata kopi dan salak."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR KONSTANTA [SUDAH TERBIT]
Storie d'amoreKisah tentang Ibu Findia, Dosen Matematika yang mengalami putus cinta hingga berulang kali. "Nasibku kok gini amat ya, Zul? Apa aku sama kamu aja kali ya?" "Boleh, Bu." "Hahaha. Bercanda, Zul, bercanda." "Tapi saya serius, Bu." "Haaa? Apa, Zul? "Sa...