44

1.5K 169 1
                                    

Eliska sudah cuti melahirkan. Sebagai teman yang baik, tentu aku tidak akan merempongkannya dengan laporan pengabdian masyarakat yang sedang kami kerjakan. Ya, DRPM Kemenristekdikti tidak begitu saja melepas dananya kepada kami. Tidak hanya laporan pertanggungjawaban di akhir nanti, bahkan sepanjang pelaksanaan penelitian dan pengabdian ini kami harus mengunggahnya dalam Laporan Kemajuan di laman Sistem Informasi Manajemen Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (SIMLITABMAS).

Bahkan bisa dikatakan, laporan yang harus dibuat ini jauh lebih ribet dibandingkan pelaksanaan penelitian maupun pengabdiannya. Iyalah, ribet. Mau rapat hasil analisa data penelitian saja harus buat undangan resmi tertulis, lengkap dengan presensi dan notulensi, lalu juga foto saat rapat. Padahal rapatnya cuma berdua, aku dan Bu Dewi. Janjian via WA saja kan bisa.

Yang lebih menjengkelkan lagi, di tahun ini kebijakan tentang honorarium untuk peneliti dan pengabdi adalah nol rupiah. Ya ampun, apa-apaan mereka! Semacam kerja rodi saja kami.

"Mbak Fin, titipan dari Zulkifli."

Sinta datang sambil menyodorkan sebuah map. Entah isinya apa.

"Ini apa, Sin?"

"Gak tau, mbak."

Tak mau memperlama lagi, aku segera membuka map berwarna biru itu. Terpampanglah dengan jelas di depan mataku, 'Sertifikat PIRT'. Aku terbelalak, menganga tidak percaya.

"Mbak Fin, kenapa?"

Seolah pertanyaan Sinta lewat begitu saja, tak kugubris. Aku masih mencermati kertas yang bertuliskan bahwa Kurma Salak telah tersertifikasi PIRT. Dengan kata lain, Kurma salak sudah mendapatkan perijinan Pangan Industri Rumah Tangga.

Di saat aku masih mengatur waktu untuk melakukan pengajuan ijin PIRT, Zulkifli justru sudah memberiku sertifikatnya. Aku terharu. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan?

Aku mengambil ponsel dari dalam tas, mencari nama Zulkifli di kontak WA.

Zul
Terimakasih banyak bantuannya

Terkirim. Centang dua tapi masih hitam.

"Mbak Fin, jangan senyum-senyum gak jelas, dong."

Ah, Sinta ini mengganggu saja. Aku kan sedang bahagia, terima sertifikat PIRT dengan cuma-cuma. Tidak perlu ribet mengurusnya, sertifikat itu nongol begitu saja di depanku. Betapa pengabdianku tahun ini terasa sangat menyenangkan.

"Mbak Fin?"

"Ha?"

"Berkas apa itu? Sumpah, aku kepo. Tadi mangap, sekarang nyengir. Apaan, dah?"

Aku tertawa kecil mendengar omelan Sinta. Bibirnya dimanyun-manyunkan. Orang cantik sih bebas ya, mau gimana juga tetap cantik. Aku juga cantik, sih. Tapi kalau dibandingkan Sinta, jauh. Iya, jauh. Jauh lebih cantik Sinta.

"Ini sertifikat PIRT. Surat ijin usaha untuk pengabdianku," kataku menjelaskan.

"Ya ampun, baru juga terima sertifikat gitu aja udah gak jelas gini ekspresinya. Gimana kalau terima buku nikah?"

"Kayak yang pengalaman saja kamu."

Sinta tertawa. Akupun.

"Jadi, Mbak Findia sama Zulkifli ini apa?"

"Dia mahasiswaku."

Sinta memicingkan matanya, lalu tersenyum meledek.

"Mana ada mahasiswa bantuin urus PIRT?"

"Oke, dia mitraku."

Sinta terkekeh, "Yang mitra itu pak kades. Bukan anaknya."

Mitra merupakan sebuah istilah yang diperuntukkan pada sasaran dalam pengabdian masyarakat.

Notifikasi WA mengurungkan niatku untuk menimpali Sinta. Dari Zulkifli.

Sama2 Bu
Kalo ada yg diperlukan lg sampaikan sj. Sy bantu

Aku tersenyum. Segera mengetik balasan.

Km sudah banyak membantu sy
Terimakasih

Centang dua langsung biru. Berarti dia sedang di kolom obrolan ini. Sedetik kemudian,

Ibu jg sudah membantu kami
Sukodono

Aku menaruh ponselku. Dia benar. Ini hanya semacam simbiosis mutualisme. Saling membantu karena saling menguntungkan. Tidak lebih dari itu.

Lah, memangnya aku berharap apa?

===== Bersambung ======

MENGEJAR KONSTANTA  [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang