Tuhan, maafkan aku. Lagi-lagi namamya yang harus kusebut saat aku menghadapmu. Sebab ciptaanMu hanya ingin memilikinya meskipun hanya sedetik. Setidaknya dia berikan warna dalam hidupku.
Tuhan, bolehkah aku memeluknya dalam doaku padaMu? Meski aku tau yang disebut dalam doanya bukanlah namaku. Yang selalu diucapkannya saat menghadapMu bukanlah aku. Tolong sentuhkan sedikit saja lantunan suci ini padanya.
Tuhan, salahkah aku menyandarkan rasa padanya? Memberikan semestaku untuknya. Mengembara dalam setiap kisahnya. Merajut selimut untuk menghangatkannya.
Tuhan, apakah ini rencanamu? Membuatku melambung setinggi langit tempatMu berkuasa, lalu mejatuhkanku sedalam inti bumi berada.
Tuhan, aku tau akan selalu ada perpisahan di ujung pertemuan. Selalu ada kematian di ujung kehidupan. Tapi mengapa aku harus mati sebelum benar-benar merasakan hidup?
Tuhan, mungkinkah egoku yang terlalu tinggi untuk memilikinya? Atau egonya yang sangat kuat untuk mengusirku dari dunianya?
Tuhan, haruskah aku mengikhlaskannya?
Kata mas Fiersa, menunggu tak ditunggu, bertahan tak ditahan itu menyakitkan. Lalu, aku harus apa Tuhan?Sebuah pertanyaan yang selalu ku tanyakan pada Tuhan saat aku mulai lelah. Menyerah pada rindu yang telah tumpah serapah. Saat hati gundah gulana. Saat raga telah lemah oleh luka besar akibat tingkah kecilnya.