[18] Ara~

721 48 3
                                    

perpisahan tidak akan datang semudah itu,
ia akan bermain dan
memberikan sayatan kecil
sebagai kenangan.

•••


"Ra, Erlangga apa kabar?" tanya sebuah suara memecah keheningan. Namun tidak ada jawaban.

Kombinasi angka yang tertera pada layar gawai sudah bersatu sempurna menampilkan susunan angka 21:00, artinya sudah tiga puluh menit Naya berada di dalam satu ruang bersama orang asing. Akhir-akhir ini, gadis itu nampak terlihat sering berinteraksi dengan orang baru. Ya, semua karena Raquel.

Pemuda berkemeja hitam yang berada di balik kemudi hanya diam, membiarkan remaja di sisi kirinya mengumpulkan sebagian jiwa yang sempat melalang buana. Sambil menunggu, sesekali ia melihat ke luar jendela, memperhatikan laju kendaraan yang begitu lamban.

Barra menekan salah satu tombol pada dasbor, mengotak-atiknya sebentar hingga menemukan saluran yang diincarnya. "Thank you buat lo semua yang udah gabung bareng gue dari awal. Sayang banget kita harus pisah di sini huhuhu ... Eeetsss tapi tenang, sebelumnya gue mau puterin lagu terakhir yang udah di request salah satu pengirim rahasia. Gue Arista pamit undur diri, see you next week dan selamat malam Sabtu!"

Kekasihmu tak mencintai
Dirimu sepenuh hati
Dia selalu pergi
Meninggalkan
Kau sendiri

Mengapa kau
Mempertahankan
Cinta pedih menyakitkan
Kau masih saja
Membutuhkan dia

Lenyap. Suara merdu penyanyi yang mengudara di salah satu frekuensi radio itu hilang bersamaan dengan guntur menggelegar di langit Jakarta. Naya menghela napas, meremas kedua sisi cardigannya. Lalu tiba-tiba suhu hangat menjalar pada telapak tangan kanannya, memberikan efek menenangkan yang tak biasa.

Seulas senyum seindah pelangi membuat gadis itu menarik tangannya cepat-cepat. "Sori, Ra."

"Naya," ujar gadis itu membenarkan.

Barra terkekeh kecil. "Saya lebih suka panggil kamu Ara. Gak boleh?"

Naya menghela napas pasrah. Malas menanggapi seorang lelaki yang baru saja dikenalnya. Jika saja bukan karena Raquel yang memaksa dan angkutan umum mudah diakses, Naya sudah pasti lebih memilih naik angkutan umum seorang diri daripada diantar oleh Barra.

"Berhenti di depan aja," pinta Naya begitu melihat sebuah halte.

"Rumah kamu masih jauh. Ini udah malam, Ra. Saya bukan cowok berengsek yang tega ninggalin cewek malam-malam sendirian."

"Aku bisa minta jemput—" Naya terdiam, kehilangan kata-kata untuk melengkapi kalimatnya. Dia sendiri tidak tahu ingin menyebut nama siapa. Erlangga? Sudah pasti cowok itu akan marah-marah, mengiterogasinya dan Naya tidak mau Raquel kembali menerima sumpah serapah. Revan? Ah itu lebih tidak mungkin.

"Kenapa diam? Bingung mau minta jemput siapa?" Barra kembali menimpali kalimat Naya. Seolah dia memang tahu apa yang membuat gadis itu menghentikan ucapannya. "Saya yakin pacar kamu pasti ngamuk kalau tahu kamu habis main sama Raquel."

Barra terus mengemudikan mobilnya, melewati belasan gedung pencakar langit dengan kemolekan lampu yang menghiasinya. Sesekali memainkan jemari di atas kemudi, mengikuti irama musik yang sengaja diputar untuk menemani malam.

"Besok-besok gak perlu takut sama petir, Ra," ujar Barra santai setelah mobilnya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang ditunjuk Naya. "Petir gak akan nyakitin, apalagi nyakitin hati kamu. Petir gak setega itu, Ara. Beda halnya sama manusia yang tega nyakitin hati manusia lain."

komaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang