—nanti ketemu lagi ya,
jangan lupain
aku•••
Pepatah hasil tidak akan mengkhianati usaha memang benar adanya. Kini, seragam putih abu-abu yang setiap hari dikenakan ditanggalkan dengan bangga. Dilipat rapi dalam lemari dan dibiarkan berteman bersama kenangan di masa putih biru.
Rintangan yang dilalui untuk sampai di akhir penghujung masa SMA cukup berat. Bahkan beberapa ada yang harus berjibaku kembali dengan buku-buku tebal untuk mengikuti ujian demi menunaikan impiannya. Namun ada pula yang dengan mudahnya melintasi rintangan tanpa hambatan berarti.
"Beneran gak mau dianter aja naik mobil, Nay?" Gelengan singkat diiringi seulas senyum yakin terlukis di wajahnya.
"Gapapa, Mas Revan. Naya suka naik kereta, kok. Lagi pula nanti 'kan di sana aku sendiri, jadi hitung-hitung belajar mandiri dari sekarang." Revan mengacak lebut puncak kepala Naya dan memeluknya untuk beberapa saat.
Naya merapikan tatanan rambutnya dan meraih koper dari tangan Revan. Sebelum benar-benar berbalik, Naya kembali menyunggingkan senyum. "Bandung 'kan dekat, Mas. Aku kuliah di sana juga untuk tepatin janji aku ke Bunda, aku pengin buat Bunda bahagia."
"Emangnya Mas Revan nggak mau lihat Bunda bahagia?"
Revan mengehela napas berat. Bagaimanapun meski sempat tercipta tembok diantara dirinya dan Naya, dia tetap mengkhawatirkan adik kecilnya itu. Namun Revan bisa apa, tekad adiknya itu sudah bulat. "Oke, oke ... Lo harus jaga diri baik-baik di sana."
"Siap. Naya ke dalem sekarang ya, Mas," pamit Naya seraya berjalan perlahan meninggalkan Revan. Berbaur dengan para pengguna jasa kereta api lainnya yang mungkin juga akan menjemput janji-janji kehidupan lain.
Seraya melangkah menuju ruang tunggu, sesekali Naya melirik arloji di tangan kirinya. Benda bulat itu baru menunjukkan pukul 13.30, yang mana artinya masih ada 45 menit lagi dari waktu keberangkatannya ke Bandung. Dan selama membunuh waktu, Naya melipir ke salah satu restoran cepat saji dekat bangku-bangku di ruang tunggu.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan pesanannya, Naya sudah kembali lagi menuju bangku di sudut dekat layar pemberitahuan. Sesekali matanya melirik ke arah tangga, memperhatikan sejenak lalu berganti mengawasi laju jarum jam pada arlojinya.
Sedikit berharap agar lajunya melambat.
Satu persatu bangku di sisinya mulai kosong, ditinggalkan penghuninya yang bergegas menuju kereta masing-masing. Bersiap meninggalkan kota penuh sesak dan menetap di kota lain untuk berbagai tujuan. Ada yang singgah sejenak untuk melepas rindu, ada pula yang menetap selamanya.
"Hai, Nay," sapa sebuah suara yang membuat Naya menoleh ke sisi kiri dengan cepat. Kursi yang semula kosong kini telah berpenghuni. Cepat-cepat Naya mengulas senyum. Tak bisa dipungkiri jika Naya menghela napas lega.
"Ah ya, hai."
"Gue lama ya?"
Naya tersenyum, meski ragu akhirnya dia menjawab, "I-iya, tapi belum telat kok."
Erlangga menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa bersalah karena harus membuat Naya menunggu selama ini. Seandainya saja dia tidak meminta Damar menjemputnya, mungkin dia akan memiliki waktu lebih lama dengan Naya. Namun masa bodo, yang terpenting dirinya masih dapat bertemu.
Erlangga segera ikut berdiri mengikuti Naya. "Sori ya telat, gara-gara Damar ni. Lelet emang itu anak."
"Kalo tau dia lelet, gue mending minta dianter Mama tadi."
Melihat Erlangga misuh-misuh Naya tertawa. "Iya, Erlangga, gapapa," Naya melirik arlojinya, jarum jam sudah bergeser lima menit. Semakin dekat dengan waktu keberangkatannya. "Erlangga, aku duluan ya, sepuluh menit lagi keretanya berangkat. Kereta kamu masih lama?"
Usai Naya menyelesaikan kalimatnya, raut Erlangga mendadak berubah. Dilingkupi awan mendung tak kasat mata. Pertemuan kali ini terlalu cepat bagi Erlangga.
Begitu pun bagi Naya sebenarnya.
Hubungan keduanya kian membaik usai hari kelulusan. Tali yang sempat putus kian menyambung perlahan. Meski tak seerat dulu, tali itu cukup membuat canda tawa dalam kehidupan keduanya kembali.
"Kereta gue jam tiga, Nay."
Naya sudah berada di dekat pintu kereta yang akan membawanya ke Kota Kembang. Namun Naya tak lekas masuk, dia berdiam sejenak, menunggu Erlangga mengucapkan sepatah kalimat. "Gue pernah bilang 'kan sama lo, Nay. Seberat apa pun cobaan yang nimpa lo, suatu saat lo pasti bisa bangkit dan bahagia."
"Makasih, Erlangga. Kamu selalu baik sama aku," ungkap Naya tulus. Sebelum air matanya meleleh, dia lebih dulu mengambil sikap. Dimasukkannya koper ke dalam kereta. "Kamu sukses ya di Jogjanya."
"Nanti, jangan berantem terus di sana. Belajar yang bener," kelakar Naya diakhiri kekehan kecil yang membuat Erlangga ikut tertawa.
Suara pemberitahuan akan keberangkatan kereta menuju Bandung membuat Naya melambaikan tangannya, lantas berlalu meninggalkan Erlangga yang masih berdiri di depan pintu kereta.
***
Tidak adanya balasan di layar ponsel membuat Erlangga mendengkus. Perasaannya jadi khawatir, meski Naya memang hanya sebatas temannya tetap saja rasa khawatir berlebih itu menyelinap setiap Naya tak memberi sepucuk balasan. Bagaimanpun juga sejujurnya gadis itu masih memiliki tempat istimewa di hati Erlangga.
Kombinasi angka pada ponsel telah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Dan ya tetap tidak ada balasan yang muncul satu pun, hanya ada keributan tidak jelas di grup kelasnya. Seingat Erlangga perjalanan ke Bandung tidak membutuhkan waktu lama. Berbeda dengan waktu tempuh dirinya ke Kota Gudeg. Tetapi kenapa Naya tak kunjung membalas pesannya?
Lengangnya gerbong kereta membuat Erlangga terpaksa hanya memandang ke luar jendela. Di luar sudah gelap, tidak ada pemandangan semrawut seperti di Jakarta. Yang dilihatnya hanya gelap, seperti langit malam itu yang tak mengizinkan bintang memamerkam cahayanya untuk menghiasi bumi.
Kalau sedang seorang diri seperti ini Erlangga teringat bagaimana Naya mengakui jika masih menyayanginya. Wajah cewek itu terlihat memerah malam itu, tapi tetap saja, bagi Erlangga cewek itu menggemaskan.
"Naya, Naya ... kalau aja gue gak disuruh kuliah ke Jogja, gue pengen banget bisa kuliah satu kota sama lo."
Ketika di malam perpisahan sekolah kala itu, Erlangga dan Naya sama-sama mengutarakan isi hatinya. Saling meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Dan mengatakan jika rasa sayang itu tetap ada. Namun Erlangga tidak memaksa Naya untuk kembali dan menjalin hubungan seperti dulu.
Sebab, mereka telah sepkat untuk menjalaninya saja. Tanpa ikatan.
Hidupnya layar ponsel membuat Erlangga dengan cepat meraihnya. Mematikan musik yang sedang didengarnya dan beralih pada pesan masuk yang sudah ditunggunya sejak beberapa jam lalu.
Aku udh sampe di Bandung. Maaf baru
sempat kabarinDua kalimat balasan itu membuat Erlangga lega, mantan tersayangnya telah sampai ditujuan.
Erlangga : Ok, Nay. Aman kan?
Erlangga : Jaga diri baik-baik ya mantan hahaha
Naya : Aman :)
Erlangga : Nanti kita ktmu lg ya
Naya : Oke :) Smoga ketemu sesutu yang lebih
baik di sanaErlangga : Haha aamiin, tp tenang nay gue masih
akan ttp sayang sama lo kokBalasan terakhirnya hanya membuat centang abu-abu berubah warna menjadi biru. Tidak ada balasan atau status online lagi. Malam itu selesai sampai di sana, dengan mimpi masing-masing.
***
Uwuuu sudah Februari ternyata, sori sori kemaren w ilang lagi wkwk Abis nyelesaiin proposal soalnya 😚
Happy reading!
Luvvvv 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
General Fiction[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...