—kamu sadar tidak?
kalau tidak,
aku beri tahu sekarang.
Aku cemburu!•••
"Demi Tuhan, Nayara! Lo udah sinting?!"
Melodi mengerikan yang kerap menjadi musuh terbesar gadis itu kembali mengudara bebas. Memekakkan telinga dengan begitu hebat. Bekerja memberikan efek kejut alami pada seorang gadis yang duduk di sebuah sofa putih dekat pintu.
Mungkin akan banyak orang mengatakan jika Naya hiperbola, tapi sejatinya jantungnya sungguh berdegup kencang mendengar pekik amarah.
Kobar abi berkecamuk merasuki diri Erlangga, kedua tangannya terkepal geram. Wajahnya semakin terlihat kusut bercampur lelah kala mengingat kejadian memuakkan di saung es kelapa pinggir jalan. Beberapa kali ia berdecak geram.
Dengan sekuat tenaga Erlangga menampik memoar sialan yang terus berputar manis dalam kepalanya, tapi nihil. Usahanya selalu berakhir sia-sia. Semakin kuat berusaha melupakan, wajah menjengkelkan sang musuh berkelebat dengan jelas.
"Lihat gue, Nay," titah Erlangga dengan suara yang bergetar dan tegas.
"Erlangga! Mama gak pernah ngajarin kamu bersikap kurang ajar sama perempuan!" desis Yuni.
"Diminum dulu, Sayang." Wanita itu sudah menoleh pada Naya, menyodorkan segelas teh hangat. Lantas Yuni kembali meninggalkan ruang tamu usai memperingati putranya.
Beberapa puluh menit lalu, tepat di sebuah kedai kecil, seseorang yang tak pernah ingin Naya temui lagi datang bagai ksatria. Entah bagaimana caranya Barra bisa berada di sana, berdiri kokoh di hadapan gadis mungil yang begitu takut akan kilat listrik mengerikan di langit Jakarta, dan menjadi pelindung-menggantikan tugas seorang Erlangga.
Pukulan telak yang menghantam pipi kanannya membuat Barra terhuyung. Tanda cinta lain mungkin akan terlihat di kulit putih bersihnya bila tak ada orang-orang sekitar yang bertindak sigap. Sementara Naya terpaku, kakinya begitu sulit untuk digerakan. Otaknya seolah berhenti bekerja, pening yang sudah lama tak singgah kembali bertamu tanpa permisi, menyerangnya dengan kekuatan lebih besar.
Dinginnya genggaman Erlangga membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Cepat-cepat diikutinya langkah Erlangga menuju motor hitam di dekat sebuah pohon mangga.
Ketika melewati Barra, Naya hanya berkata maaf dengan sangat lihir.
"Aku capek Erlangga," lirih Nayara putus asa setelah menyesap teh hangat buatan Yuni. Erlangga mengerling sejenak, lantas kembali menyandsarkan tubuhnya pada sofa dengan wajah menengadah. Menatap lurus pada langot-langit putih yang sesekali dilintasi dua ekor cicak.
"Capek sama sikap gue?"
"Apa semuanya belum jelas?"
"Nay, apa gue harus bilang kalo gue cemburu?"
"Tapi apa nggak ada cara lain?"
"Susah, Nay."
"Ya belajar berubah."
"Diusahain."
"Jangan berubah cuma karena aku yang minta. Berubah buat kebaikan diri kamu sendiri, Erlangga. Masalah nggak akan selesai dengan perkelahian."
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
General Fiction[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...