—berbeda bukan berarti
tak pernah bisa bersatu.
Nyatanya, terkadang,
perbedaan justru
mempersatukan.•••
Terbukanya pintu kelas yang memperlihatkan tubuh proposional seorang wanita muda membuat semua murid yang semula berdiri di depan kelas kocar-kacir menuju bangku masing-masing. Melipat tangan di atas meja dan duduk dengan tegap.
"Bersiap!" pimpin lelaki berkacamata yang duduk di bagian tengah. Suara lantangnya membuat semua penghuni 12-IPS-4 mengikuti perintah dengan sigap.
"Sebelum memulai pelajaran hari ini, alangkah baiknya kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai." Semua kepala tertunduk, memanjatkan doa dengan tartil.
"Selesai," ujar Alvian, "memberi salam."
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!" koor semua murid dengan kompak.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," Bu Lisa menjawab dengan santai, lantas bangkit dari kurisnya. Ekor matanya melirik sekilas memperhatikan kehadiran Nayara di dekat jendala.
Derap langkah high heels menggema di udara setiap kali guru muda berparas elok itu melangkah. "Kumpulkan tugas minggu lalu di depan. Untuk yang tidak mengerjakan silakan meninggalkan kelas dan temui saya di ruang guru pada jam istirahat pertama."
Tidak ada protes, satu per satu murid mulai meninggalkan kursinya, meletakkan buku bersampul cokelat yang telah digambar peta indonesia pada meja di dekat papan tulis. Sementara Nayara, melangkah meninggalkan kelas.
"Kamu lagi Nayara? Rupanya tidak bosan ya mendapat hukuman dari saya? Apa yang kemarin masih belum cukup?" cibir Bu Lisa yang membuat seisi kelas menahan napas sekilas.
Ghea yang sudah geram sontak mengurungkan niat untuk mengumpulkan tugas, diletakkannya kembali buku itu di dalam tas. "Ibu kenapa sih selalu bersikap beda sama Naya? Bukannya kemarin Ibu yang kasih hukuman ke dia dan bilang jangan ada yang kasih tau Naya kalau ada tugas hari ini?"
"Ghea!"
"Kenapa, Bu? Saya tau Ibu memang guru, tapi saya rasa Ibu keterlaluan. Lagi pula saya juga belum mengerjakan tugas yang Ibu kasih," Ghea berujar sedikit berani dan berbohong, membuat seisi kelas ingin menyumpal mulut gadis itu dengan cabai sebanyak mungkin. Pasalnya, jika guru yang selalu on point dengan make up itu murka, seisi kelas akan terkena imbasnya.
"Nggak seharusnya kamu kayak gitu, Ghe," ujar Naya saat teman sebangkunya itu menempati ruang kosong di sisi kanannya.
"Bodo amat, Nay. Gue empet banget ngeliatnya. Lagian sebenernya dia kenapa sih sensi amat sama lo?"
Naya menggendikan bahu.
"Nay, lo jangan mau dihukum terus sama guru nyebelin itu. Sekali-kali lo yang kasih dia hukuman. Gue yang ngerjain deh sini kalo perlu."
"Tanpa aku kasih hukuman, Bu Lisa udah dapet hukuman kok."
Ghea mengernyit tidak paham, tetapi tidak lagi mengirimkan pertanyaan.
***
Mangkir dari ajakan Erlangga, Ghea, dan Vio bukanlah hal mudah. Naya harus memberikan sebuah alasan kuat untuk menolaknya, terlebih untuk Erlangga. Lelaki itu akan terus mendesak hingga mendapat jawaban yang memuaskan hatinya.
Jemari lentik dengan kuku bercat biru laut yang selalu menjadi pengemudi di setiap pertemuan itu menekan salah satu tombol pada dashbor mobil, mematikan saluran radio yang terus menyiarkan kemacetan ibu kota di malam Minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
Ficción General[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...