—biarkan satu persatu luka
datang menghampiri.
Nikmati saja~nanti, esok, lusa,
pasti dihujani kebahagiaan•••
Semilir angin membelai lembut setiap helai rambut Naya yang terurai. Membawanya menari mengikuti arah perginya angin.
Sudah lima belas menit Naya termangu di hadapan pusara sang bunda dan ayahnya. Mencurahkan segala kegelisahannya selama beberapa bulan belakangan. Meski tidak pernah mendapat jawaban akan keluhan-keluhan yang dilontarkannya, Naya tetap merasa perasaannya lebih baik.
"Makasih ya ... Barra," Naya sedikit ragu setiap kali mengucapkan nama lelaki itu tanpa embel-embel 'kak'. Meski laki-laki itu langsung yang memintanya, rasanya tetap saja aneh.
Lelaki yang sedari tadi hanya mengamati kini mengumbar senyum tipis, mengusap lembut puncak kepala Naya. Memberikan kehangatan yang membuat Naya kian terbuai. "Kamu gak perlu terima kasih ke saya, Ra. Kamu berani bertahan sampai di titik ini karena diri kamu sendiri."
Mobil hitam yang dikendarai Barra sudah sampai di depan kediaman Naya. Istana yang sempat diselimuti gumpal hitam kini telah disinari seberkas cahaya pelangi. Meski para penghuninya telah pergi satu persatu, kenangan manis tetap tersimpan di dalam sana.
Naya mendesah begitu menyadari motor Revan terparkir di halaman. Dia benar-benar muak berhadapan dengan kakaknya itu. Meski Revan hanya satu-satunya keluarga yang dimiliki, tetapi sialnya Naya tidak merasakan hangatnya sentuhan keluarga dalam diri Revan.
"Ara, are you okay?"
"Bi—bisa bawa aku pergi dari sini, Barr?" tanya Naya ragu. Meski sempat tidak mendapat respons untuk beberapa saat, perasaannya dilingkupi kelegaan luar biasa tatkala Barra kembali mengemudikan mobilnya.
"Ada masalah, Ra?"
"Aku nggak suka Mas Revan, Barr. Dia ... jahat."
"Oh."
"Aku tahu dia keluargaku, tapi apa bisa aku bersikap biasa di depan orang yang udah bunuh ayahnya sendiri?" Naya meringis, melempar tatapannya pada sisi kiri. Memperhatikan setiap kendaraan lain yang melaju dengan kecepatan berbeda.
Barra termangu. Tidak ada yang harus dia utarakan untuk permasalahan kali ini. Tugasnya hanya sebatas membuat gadis itu ... luluh padanya. Lantas, perlahan dia akan terbebas dari tugasnya.
Teriknya sang surya siang itu membuat Barra menjatuhkan pilihannya pada kafe ice cream kesukaan Raquel. Meski tidak datang bersama perempuan itu, Barra tetap menikmatinya. Seperti yang sudah-sudah, Barra akan memesan menu andalan Raquel. Dengan begitu ia selalu merasa tengah bersama Raquel.
Namun semesta seolah tengah menghukumnya. Tidak mengizinkan dirinya menikmati suasana siang dengan tenang.
Derit kasar antara kursi dengan lantai membuat Barra dan Naya terperanjat. Kehadiran sosok lain diantara mereka membuat Barra mengembuskan napas kasar. Raut tak sukanya begitu kentara. Dan perpaduan sejuknya air conditioner dan es krim tak lagi berpengaruh.
"Udah cukup, Nay. Ayo pulang."
"Kamu kenapa sih?" Naya menghindar begitu Erlangga berusaha menggapai tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
Fiction générale[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...