—memang caranya hanya satu,
belajar ikhlas
dan
merelakan dengan tulus.•••
Gumpalan hitam itu belum beranjak sejak kemarin. Masih mengepung kediaman almarhum Heru. Entah sampai kapan, tak ada yang bisa memastikan.
Sementara raut muram sejak kemarin malam masih melekat sempurna pada wajah setiap penghuni yang tinggal di sana-terutama seorang gadis pemilik manik cokelat pekat.
"Ndok, mau ikut atau di rumah saja?" logat Jawa yang khas membuat Naya menoleh perlahan. Mbok Parmi sungguh tak kuat hati melihat keadaan putri bungsu sang majikan. Terlebih kala gadis itu menoleh dengan sorot kosong.
Anggukan lemah menjadi jawaban.
"Tidak usah dipaksa kalau-"
"Aku ikut." Naya memotong dengan cepat dan intonasi dingin. Meski suaranya sangat serak dan hampir terdengar seperti bisikan, Mbok Parmi dapat mendengarnya.
Tak ada pilihan selain menuruti keinginan Naya. Lagi pula ini adalah pertemuan terakhir sebelum benar-benar ada sebuah tanah yang memisahkan diantara keduanya.
"Non boleh ikut, asal mau janji satu hal pada Mbok." Kernyitan terlihat pada dahi Naya, namun ia tak menyuarakan kebingungannya. Hanya menunggu sampai Mbok Parmi mengutarakannya sendiri.
"Jangan menangis di makam Bapak dan Ibu nanti." Naya kembali bergeming. Pasalnya ia tak tahu harus menjawab apa. Ia sadar dan bisa memastikan jika dirinya tak akan bisa meyanggupi keinginan Mbok Parmi.
Dengan telaten dan penuh kesabaran, Mbok Parmi memapah Naya menuju kamarnya. Semula ia hanya melamun di balkon dekat kamarnya, menerawang dengan segala pikirannya yang tak karuan.
***
Semilir angin menerpa lembut kulit gadis yang sejak beberapa menit lalu terduduk lemah di samping pusara kedua orangtuanya. Kedua tangannya mengusap perlahan kayu bertulis ukiran nama yang tertancap di atas gunduk tanah merah.
Mata yang selama ini selalu memancarkan binar, kini meredup, hanya menatap kosong pada tanah. Seolah, tak ada lagi jiwa yang menempati raga mungil itu.
Siang ini, ditemani teriknya sang surya, mata yang tak begitu indah itu sudah berhenti menetikan air mata. Mungkin sudah terkuras semalam.
Atau mungkin, Naya sedang berusaha sok tegar? Entahlah, hanya Naya dan Tuhan yang tahu.
Prosesi pemakaman mendiang Heru telah usai beberapa menit lalu. Pusaranya tepat berada di sisi kiri makam sang istri.
Satu persatu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Sesekali, kerabat dekat Heru dan Dian memeluk gadis malang itu sebelum benar-benar melangkah pergi. Membisikkan sebuah ucapan bela sungkawa mendalam serta semangat.
"Yang sabar, Sayang. Ini yang terbaik untuk kedua orangtuamu. Doakan saja setiap hari."
"Van, Nay, Tante pamit ya. Tante tahu ini sangat berat untuk kalian, tapi Tante percaya kalian bisa melewatinya. Kirimkan doa setiap saat. Mereka sudah tenang sekarang."
"Ibu turut berdua cita, yang sabar ya, Dek. Kamu masih punya Mas Revan."
Seulas senyum terpancar. Bukan dari bibir seorang Nayara, melainkan seorang lelaki jangkung yang sejak semula berada di sisi Naya. "Terima kasih, Tante, sudah datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
Narrativa generale[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...