—kejutan tidak melulu soal
kebahagiaan,
sebab, kejutan terkadang
hadir dalam bentuk pisau penoreh
luka.•••
Dua minggu sudah kata mantan menyelinap di tengah hubungan Naya dan Erlangga. Jika sebelumnya hanya ada satu kata untuk menggambarkan status keduanya, kini bertambah kata lain yang mendampingi—mantan pacar.
Partikel kejutan mewujud bagai bom yang begitu menyesakkan. Satu per satu partikel menghujani Erlangga dengan pasti, persis seperti air langit yang turun membasahi bumi. Jika hujan membawa kebahagiaan untuk segelintir orang, partikel kejutan yang menghujani Erlangga sangatlah menyakitkan.
Salah satunya, diputusi Nayara merupakan partikel kejutan yang masih membekas hingga kini.
Erlangga menghela napas sejenak, menegakkan tubuhnya dan mulai menatap lekat kedua manik sang mantan. "Nay?"
"Iya?"
"Apa kabar?" Erlangga meringis, pertanyaan konyol yang seharusnya tidak dia lontarkan untuk membuka percakapan setelah dua minggu tidak saling bertegur sapa. Dan sesungguhnya keadaan canggung seperti ini yang selalu Erlangga benci.
"Baik. Emangnya yang kamu lihat aku gimana?"
Erlangga menggaruk tengkuknya, menunduk sejenak sebelum mengulas senyum kikuk. Dia benar-benar malu dan merasa bodoh malam ini. Dan sialnya, entah mengapa dia menjadi gugup. "Gak, lo baik-baik aja. Ya, lo emang harus selalu baik-baik aja."
Sekali lagi hening mengambil alih. Naya tidak seperti biasanya, kini dia lebih sering fokus pada ponselnya. Padahal ketika status pacar itu masih ada, Naya bukanlah orang yang fanatik pada notifikasi ponsel, tetapi sekarang? Jemarinya menari lihai di atas layar ponsel.
Erlangga sebenarnya tergelitik, mulutnya gatal ingin bertanya, tetapi dia tidak mau membuat suasana hati mantan kekasihnya itu berubah buruk. Melihat Naya duduk di depannya saja Erlangga sudah sangat bersyukur. Sebab, sebelumnya di saat beberapa kali dia meminta untuk bertemu, gadis itu selalu mengabaikannya.
"Gue emang sebatas teman lo sekarang, tapi gue gak suka ngeliat lo dimanfaatin, Nay."
Naya mendongak, menatap lurus pada manik hitam pekat milik Erlangga. Namun tidak ambil suara sedikit pun. "Belum terlambat, Nay. Kalau lo mau ngejauh dari cewek ular itu, gue pasti bantu."
"Erlangga, kamu selalu berusaha minta aku pergi, menjauh dari Raquel tapi kamu sendiri nggak pernah kasih alasan kenapa aku harus lakuin itu."
"Nay, ayolah ... Apa susahnya pergi dari cewek ular itu? Lo gak kenal dia." Erlangga masih membujuk. Ingin sekali mengutarakan semuanya, tetapi dia tak sampai hati untuk menorehkan luka baru di hati gadis itu.
"Coba kasih satu alasan kuat kenapa aku harus menjauh atau pergi dari Raquel?"
Rupanya tidak hanya Erlangga yang dihujani bom kejutan malam ini. Nayara turut merasakannya. Semesta seolah sedang menghukum kedua insan di sudut kafe sederhana bernuansa rumah kayu itu.
Rasa perih tak kasatmata menikamnya dengan keras, Naya seolah merasakan sebilah pisau tajam tengah menggores kulitnya perlahan.
Napasnya tersekat, matanya benar-benar sudah perih, panas sekali melihat pemandangan di depannya. Namun Naya hanya bisa terpaku, tubuhnya membeku, bahkan sekadar mengerjap pun rasanya sangat sulit. Seperti ada ribuan ember berisikan air es tengah mengguyur sekujur badannya. Iya, malam ini semesta sedang bermain-main dengan Naya dan Erlangga.
"Shit!" umpat Erlangga seraya bangkit dari duduknya. Ditepisnya dengan kasar sebuah tangan yang tiba-tiba merangkul bahunya. "Berengsek!" maki Erlangga sekali lagi begitu menyadari sebuah kecup singkat mendarat di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
Fiction générale[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...