—jika pada akhirnya aku hanya menjadi
pisau yang melukai,
lebih baik aku tidak menyelinap
ke dalam hidupmu sejak awal~•••
Are u okay, Ra?
Naya melirik ponselnya yang bergetar dan menampilkan sebuah pesan singkat dari Barra. Namun dia tak tergelitik sedikit pun untuk mengirim balasan. Jangankan mengetikan sebuah balasan, membukanya saja dia sangat enggan.
Semenjak garam kejutan menyakitkan menghujaninya kemarin malam, Naya sungguh tak berselera menyentuh benda pipih itu. Bukan tanpa alasan, Naya hanya malas melihat serentet kalimat maaf yang dikirimkan Erlangga maupun Raquel.
Iya. Naya hanya manusia biasa yang akan tetap marah dan kecewa bila hatinya disakiti. Memangnya ada manusia yang akan baik-baik saja dan senang bila dikhianati pasangannya sendiri?
Bukankah manusia selalu memiliki bermacam-macam topeng untuk tampil di hadapan setiap orang? Itulah yang Naya lakukan, berlaga seolah dirinya baik-baik saja. Meski sejatinya ia begitu merasakan sakit.
Menyadari jam sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit Naya bergegas menuju ruang makan. Dia tidak ingin mendengar Revan melontarkan amarah karena keterlambatannya. Harinya sudah cukup mendung—tak berwarna. Dan Naya tidak ingin menambah kadar kelabunya apabila mendengar makian Revan.
"Udah gue bilang itu cowok emang berengsek," tembak Revan tanpa sambutan manis begitu melihat sang adik menempati kuris kosong di sisi kanannya. Tawa mengejek kembali mengudara, menghiasi pagi kelabu. "Gimana rasanya diselingkuhin?"
Naya tak menggugu, dia memilih menyantap roti tawar tanpa selai cokelat kacang kesukaannya. Baginya, dengan cokelat atau pun tidak, harinya akan tetap muram dan luka bekas sayatan di hatinya itu tak akan sembuh dengan cepat.
"Udah gue bilang jangan banyak tingkah, Naya. Lo itu sekarang gak punya siapa-siapa. Ya, gue saranin lo main aman aja." Revan kembali mengutarakan kalimatnya meski tak mendapat respons sedikit pun. Lalu, tangannya bergerak, meraih dagu Naya dan memaksa gadis itu menatapnya.
"Apa susahnya dengerin gue? Apa susahnya ikutin perintah gue?"
"Naya bukan boneka."
Revan berdecak. Lalu, tak lama seringai menyebalkan tercetak dari bibirnya. "Cukup jadi anak manis Nayara," bisiknya sebelum beranjak meninggalkan meja makan. Sementara gadis dalam balutan seragam putih abu itu tetap bergeming, mencoba mencerna setiap kalimat Revan beberapa menit lalu.
"Atau lo emang mau gue bikin abis kayak bokap lo?" tanya Revan sebelum benar-benar meninggalkan ruang makan bagai kuburan itu.
Pertanyaan Revan benar-benar membungkam Naua. Pasalnya dia masih ingin menikmati hidupnya.
***
Nyaringnya jentikan jari membuat Naya yang semula asyik menatap ke arah lapangan refleks mengerjap. Lamunannya buyar begitu Vio memeluknya dari samping dengan tiba-tiba. Kini, ruang kosong di sisi kanan dan kirinya sudah berpenghuni. Ditempati oleh kedua sahabatnya.
"HP lo kenapa, sih?" todong Ghea tanpa basa-basi usai menyesap es jeruk kesukaannya. Tak lama dia pun berdecak gemas melihat respons tak acuh dari Naya. Untung saja Ghea sedang tidak dalam masa PMS, jika iya mungkin dia sudah mencak-mencak karena pertanyaannya tak digugu sama sekali.
Ghea mulai merapikan kuciran rambutnya yang berantakan. Sebelum menghampiri Naya di koridor dekat lapangan, dia sempat bertikai dengan teman sekelas yang entah disengaja atau tidak menumpahkan minumannya. "Kemaren malem cowok lo nanya ke gue, katanya kenapa lo nggak bales—"
![](https://img.wattpad.com/cover/167749885-288-k281102.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
Narrativa generale[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...