[26] bukan berarti lupa

548 34 9
                                    

memaafkan mungkin memang mudah,
hanya saja melupakan
yang cukup
sulit

•••

"Gue gak dosa 'kan bilang kangen sama lo, Nay?"

Sepenggal kalimat pembuka setelah hening beberapa saat membuat Naya sedikit terperanjat. Pasalnya Naya tak menyangka jika Erlangga akan mengatakan hal demikian pada malam itu. Memang tak ada salahnya, tak ada larangannya untuk mengatakan sepenggal kalimat rindu, hanya saja Naya pikir Erlangga telah kembali pada Raquel.

Kerinduan tak terbendung membawa Erlangga menginjakkan kakinya di kediaman sang mantan kekasih. Pasalnya entah mengapa hanya memandangi dari jauh ketika berada sekolah tidaknya cukup.

Ditemani ribuan bintang yang tak nampak dan seonggok bulan, keduanya tak banyak bicara. Hanya duduk berdampingan di depan pagar seraya terbang bersama pikiran masing-masing. Membiarkan rasa rindu meluap dengan sendirinya.

Getar ponsel pada saku jaket membuyarkan lamunan Erlangga. Sebuah getaran panjang membuatnya dengan cepat merogoh saku dan menempelkan ponsel ke telinga.

"Ya, Ma. Ini di rumah Naya, kenapa?" Erlangga menoleh pada Naya, menatapnya sejenak sebelum mengutarakan kalimat lain. "Nay, Mama mau ngomong," lanjutnya setelah gadis itu menoleh padanya.

Ponsel pintar yang semula berada dalam genggaman Erlangga, kini telah berpindah ke dalam genggaman Naya. Gadis itu mengulas senyum ketika mendengar suara lembut di seberang sana.

"Iya, Tante, Naya baik-baik aja sama Erlangga. Emmm enggak apa-apa, Tante, cuma masalah kecil kok."

Naya tertawa kecil. "Aku nggak marah sama Tante. Dan ini bukan salah Tante sama sekali. Iya aku janji kapan-kapan main ke rumah Tante lagi. Naya juga kangen banget sama Tante."

"Mama tau kita putus," ungkap Erlangga usai panggilan antara dirinya, Naya, dan sang mama berakhir, lalu melanjutkan kalimatnya, "Mama marah banget sama gue. Tapi ya emang gue-nya aja tolol pake segala selingkuh di belakang lo."

Naya menghela napas, mengukir seulas senyum dan membalas kalimat pernyataan Erlangga. "Kamu pikir aku nggak marah waktu tahu semuanya? Aku juga marah Erlangga."

"Gue minta maaf, Nay."

"Udah malem, aku harus masuk sebelum Mas Revan pulang," Naya beranjak tanpa merespons kalimat Erlangga. Namun belum sempat ia meninggalkan Erlangga, cowok itu lebih dulu menahan lengannya. Menggenggamnya untuk beberapa saat.

Erlangga menghela napas, mengesampingkan rasa penasarannya akan kedekatan Naya dan Barra. "Nay, gue bener-bener minta maaf. Lo boleh maki-maki gue sepuas yang lo mau, tapi tolong jaga jarak sama Raquel dan Barra."

"Gue sayang sama lo, Nay."

"Aku harus masuk, Erlangga. Udah malem. Dan ... kamu juga harus pulang."

Sementara di halaman belakang sebuah rumah yang cukup megah sekumpulan mahasiswa tengah bercengkrama menghabiskan malam. Alih-alih mengerjakan tugas seperti yang direncanakan sebelumnya, mereka hanya tertawa ditemani camilan berbagai macam jenis.

Pemandangan yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya tak pernah absen dari taman belakang rumah Raquel. Keriuhan itu tetap menjadi melodi menyenangkan bagi Raquel, karena dengan kehadiran para sahabat, sepi yang melingkupi istananya seolah terbunuh sesaat.

Sejak kecil Raquel tak pernah menyukai keheningan. Ia tak suka sepi dan ... sunyi. Raquel sangat menyukai keramaian, sebab dengan begitu dia tidak perlu takut merasa sendiri. Itulah mengapa dirinya rela mengundang para sahabat karibnya untuk bertamu ke rumahnya.

komaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang