"Lo terlalu sibuk sampai lupa kalo
ada gue." - Erlangga•••
"Lo gila, Barr! Gila!" maki Raquel seraya mendorong kasar sebelah bahu Barra. Emosinya memuncak kala mengetahui lelaki di hadapannya baru saja melakukan hal tolol yang membuatnya kehilangan kesempatan memiliki Erlangga.
Raquel menjatuhkan tubuhnya pada sofa, bersidekap dan memejam sejenak. Kepalanya terlampau pening dengan semua kemungkinan buruk. Pusing sekali jika memikirkan kemungkinan Erlangga akan semakin membencinya. Namun tak lama ia mengembuskan napas kasar.
"Barra, Barra, Barra! Please, jangan bertingkah tolol."
"Ra, gue-"
"Shut up!" potong Raquel seraya beranjak dari sofa. Dihampirinya Barra yang sedari tadi hanya berdiri di dekat lemari cokelat. Tangan Raquel bergerak, mengusap lembut memar pada pipi Barra dengan ibu jarinya. Sebelah alisnya terangkat seraya melontarkan tanya, "Sakit ya?"
"Sorry, Barra ... sorry," Raquel meringis, wajahnya menengadah menatap lurus kedua mata Barra. Sedangkan tangannya menggenggam erat kedua tangan Barra. "Gue ..."
"Barra, gue gak bermaksud untuk-"
Racauan tanpa arah Raquel berhenti. Suasana ruang bergaya minimalis itu lengang seketika. Hanya suara-suara makhluk malam yang sesekali terdengar. Bahkan aura tak menyenangkan yang sempat bertamu dan bermain-main tersapu oleh cara Barra mendaratkan kecupannya pada bibir Raquel.
Tidak kasar. Tidak rakus. Barra melakukannya dengan hati-hati. Dengan sangat manis.
Tak lama Barra menarik diri lebih dulu. Dalam hati ia merutuki diri karena tak bisa mengontrol keinginan hatinya barang sedikit. Namun tak bisa dipungkiri jika dirinya ... senang.
"Sorry," lirih Barra sebelum berlalu meninggalkan istana Raquel. Meninggalkan Raquel yang hanya termangu.
***
Gumpal kelabu yang sempat bergelayut telah sirna beberapa saat lalu. Memberikan kesempatan pada langit untuk membahagiakan setiap keturunan Adam.
Cicit burung yang hinggap pada genting menjadi melodi pengiring riuhnya kantin SMA Galaxy. Berkolaborasi dengan guruh pesawat yang sesekali terdengar di telinga. Namun suara-suara itu nyatanya tak pernah dipedulikan para siswa di kantin. Mereka terlalu sibuk dengan urusan perut.
Naya menoleh begitu kedua sahabatnya melempar kode. Rupanya sosok lain yang pernah mengisi ruang hatinya kini telah berada di hadapannya. Dengan dasi yang tak terpasang rapi dan senyum sedikit canggung, tetapi Erlangga tetap duduk tegap-percaya diri.
"Lanjut aja, Nay. Gue gak akan ganggu kok."
Tak ada respons untuk kalimat pertama. Naya hanya diam dan terus menikmati baso favoritnya. Sementara Vio dan Ghea sudah sibuk melempar pandang, mengirim sinyal melalui gerakan mata dan kernyitan dahi. Mereka sungguh penasaran dengan apa yang terjadi di antara Naya dan Erlangga.
"Erlangga mau ngobrol sama Naya, ya?" tanya Vio memecah keheningan.
"Vio!" desis Ghea seraya mencubit pelan tangan kanan temannya. Namun alih-alih menutup mulut seperti yang diharapkan, Vio justru kembali membuka suara. "Kalau Erlangga mau ngobrol berdua, Vio sama Ghea bisa pergi kok. Iya 'kan, Ghe?"
Erlangga tergelak.
Tidak ada hal yang membuat Erlangga serasa berada di taman bunga dan dihujani ratusan lembar uang selain mendapati Naya telah berada di sisinya. Mungkin orang lain akan menganggap semua itu berlebihan, tetapi momen langka ini benar-benar dirindukan Erlangga.
Setelah beberapa bulan berpisah.
Erlangga mengelurakan sebuah permen oranye dari dalam saku, memberikannya pada Naya. Dan yes! gadis itu menerimanya tanpa banyak penolakan konyol. Erlangga bersorak dalam hati.
"Masih suka 'kan sama permennya?" Naya mengangguk dan memasukkan permen ke dalam mulutnya.
Cerahnya langit membuat Erlangga semakin percaya diri. Entah mengapa dia merasa semesta tengah berpihak padanya. "Nay, gue tau kalo lo pasti sekarang benci banget sama gue. Emang gue ini laki-laki paling berengsek, gak tau diri-"
"Erlangga, udahlah. Aku capek denger kamu yang selalu nyalahin diri sendiri. Sekeras apa pun kamu salahin diri sendiri, semuanya nggak akan kembali lagi. Ini juga salah aku yang terlalu gampang percaya sama orang lain."
Alih-alih beradu argumen, Erlangga hanya meringis. Membiarkan Naya kembali melontarkan kalimat lain, sekalipun kalimat itu mungkin akan menyakitinya. Sejujurnya dia sangat merindukan suara gadis itu.
"Sebenernya kalian itu apa sih?"
"Siapa?" Erlangga tidak bodoh, sebenarnya dia tahu maksud pertanyaan Naya, hanya saja dia sedang ingin mengulur waktu barang sedikit. Erlangga hanya mau sedikit lebih lama bersama Naya. "Gue, Raquel sama Barra?"
Mengingat semua kebodohan itu Erlangga tertawa miris. "Awalnya gue kenal mereka di tempat pertama kali Raquel nyamperin lo. Waktu itu gue lagi capek dan butuh temen. Pas banget waktu itu temen gue ngajakin main ke sana."
"Waktu itu gue ngerasa hubungan kita ...." Erlangga diak sejenak, menimbang kata apa yang seharusnya diucapkan agar tak menorehkan luka lain pada gadis itu. Namun akhirnya pilihannya jatuh pada kata, "hambar?"
"Sori, Nay."
Naya menghela napas. Ada setitik rasa bersalah yang tiba-tiba melingkupi relung hatinya. Selama ini dia tidak pernah tahu keinginan Erlangga. Dia tidak tahu kalau hubungannya selama ini ternyata ... "Dan kamu nggak pernah bilang semua itu ke aku?"
"Di satu sisi gue bosen. Tapi tololnya gue gak mau putus sama lo, Nay. Dan di sisi lain gue butuh orang yang bisa gue ajak pergi kapan pun."
Erlangga tertunduk. "Karena saat itu lo terlalu sibuk sama dunia lo, seolah gue ini cuma angin."
***
Dah w pen buru-buru kelarin ini cerita :') biar tidack ada pihak-pihak yang digantungin lagi wkwk
Biar tidak ada pihak-pihak yang merasa sakid lagi haha... Pokoknya akutu cuma pengen bilang, jangan diambil hati ya kalo ada perbuatan yang buruk di sini :')
Happy reading, Sayang! :)
Sabar, sebentar lagi ada pelangi~
![](https://img.wattpad.com/cover/167749885-288-k281102.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
koma
General Fiction[SELESAI] // (17+) ❝sebelum bertemu titik, semuanya tak akan berakhir.❞ __________________________ Kehilangan, pengkhianatan dan ketidakadilan. Nayara tidak mati rasa. Hanya saja, ia sudah kebal dengan segala bentuk 'rasa' yang menghujani dirinya...