Happy reading
.
.
.
Sorry for typos[Sedikit aja ya, lagi flu🤧🤧]
Hannah cukup merasa lega setelah mengungkapkan semua pada dua sahabatnya, ia sudah tak tahu lagi harus bagaimana setelah segala yang ia lewati kemarin-kemarin. Hannah masih bingung antara mau atau tidak pergi ke Psikiater karena takut ketahuan Mami Papi di rumah sakit.
"Aku harus gimana lagi?" gumam Hannah sambil menatap dirinya di cermin usai memakai seragam sekolahnya hari ini.
Hannah lalu keluar dari kamar sambil sesekali mengecek ponselnya, membalas beberapa pesan dari Erlangga yang baru terbaca pagi ini setelah Hannah bangun tidur.
"Pagi sayang." sapa Sekar saat Hannah duduk di kursinya untuk sarapan.
"Hm." sahut Hannah tak peduli, Sekar hanya bisa menghela napasnya berat.
"Mau sarapan pakai apa, nak? Ada scramble egg, ada omelet pakai roti atau mau nasi goreng?" tanya Sekar, Hannah masih dengan ponselnya asyik berbalas pesan.
"Hannah Adlina?"
"Apa sih, Mi? Hannah nggak mau sarapan!" Hannah lalu pergi dari kursinya dan mengambil beberapa bungkus biskuit cokelat dan susu dari kulkas.
"Hannah!"
Hannah tak menyahuti, ia malah lari keluar dan masuk mobil lalu segera pergi ke sekolah meski dengan hati tak karuan rasanya.
"Kenapa teriak-teriak sih, Yang?" tanya Banyu saat keluar dari kamarnya dengan kemeja biru langitnya.
Wajah Sekar jadi suram, tak secerah tadi. Matanya sudah berair karena matanya tak tahan untuk tidak menangis sejadi-jadinya.
"Aku bingung harus gimana lagi sama Hannah, Mas... Makin hari makin begini sama aku?" ujar Sekar bergetar.
Banyu tak banyak bicara, ia peluk istrinya itu meski suara tangis masih menghiasi pendengarannya. Banyu pun merasakan hal yang sama bahkan Hannah tidak pernah lagi menegur atau berbicara dengannya lagi semenjak kejadian hari itu.
"I know.. I know... I feel it too." gumam Banyu sambil mengusap kepala Sekar.
"What should I do... I don't know what to do..." Sekar terus mengulang kata-kata itu sejak tadi.
🌻🌻🌻🌻🌻
Sementara Hannah sudah sampai di sekolah masih dengan perasaan yang sama, antara rasa bersalah karena telah berbuat begitu pada Maminya padahal Hannah tahu Mami berusaha dekat lagi padanya dan rasa sebal juga kesal yang tak lagi bisa Hannah bendung.
"Bryna mana, Zar?" tanya Hannah saat merasa teman sebangkunya itu tak kunjung datang juga.
"Nggak tahu, udah jam segini juga pasti nggak masuk. Coba aja tanya Bryan di kelas sebelah." jawab Zara.
"Kenapa ya tumben." Hannah lalu mengetikkan pesan lewat Whatsapp namun hingga bel tanda masuk berbunyi, Bryna belum muncul juga tapi yang datang malah Bryan membawa surat izin bahwa Bryna sakit.
"Tuh kan, sakit. Jengukin nanti yuk." ajak Zara sambil menoleh ke bangku Hannah di belakangnya.
Hannah mengangguk. "Bareng Bryan atau jalan sendiri aja?"
"Sendiri aja. Bukannya futsal ya hari ini? Dia kan kapten."
"Oh iya. Tahu rumahnya?"
"Tahu, waktu itu pernah kirim kue pesenan nyokapnya Bryna." jawab Zara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLANK SPACE
General FictionFirst publish: 25 February 2019 [DISCLAIMER ; Sediakan tissue sebelum hujan] (15+) . . . Sendiri, Lagi-lagi sendiri Di saat semua orang bahagia dengan kehidupannya sedang kan Hannah tidak. Hannah benci sendirian, Hannah benci sepi namun itu yang d...