LARAS MENGANGKAT pandangan dari layar ponsel ke wajah serius Alby, lalu menghela napas frustrasi—sudah tidak sanggup lagi menahan keinginan menghancurkan sunyi yang terbangun sejak keluar dari gedung Mega Tarinka."Pak Alby ...." Sengaja menggunakan intonasi manja yang sering dia pakai saat bersama Elora.
"Hmm?"
"Kita udah jalan 15 menit loh, tapi Bapak belum tanya juga arah rumah saya ... emang Bapak tahu rumah saya di mana?" Dan Alby menggeleng pelan. "Kenapa Bapak jalan terus? Jangan-jangan Bapak mau—"
"Saya tahu rumah kamu di daerah Greenville—Jakarta Barat, tapi nggak tahu alamat lengkapnya," sahut Alby dengan wajah datar.
Kemudian, suasana mobil kembali hening. Laras yang tidak biasa diam untuk waktu lama mulai gelisah. Dia menyibukkan diri, membuka aplikasi Instagram, WhatsApp, sampai Detik.com. Namun, baru beberapa menit kepalanya sudah pusing, jadi Laras menyerah dan memasukkan ponsel ke tas.
"Pak, saya nyerah. Saya nggak bisa kayak gini terus." Dia melonggarkan seat belt, lalu duduk miring menatap Alby.
Alby menaikkan satu alis dengan raut wajah waspada, seolah apa yang akan dia lakukan selanjutnya akan membahayakan mereka. Dan melihat ekspresi lain di wajah tampan Alby, memancing senyum Laras lepas.
"Mukanya santai dong, Pak. Saya nggak minat aneh-aneh. Saya cuma nggak tahan sama kesunyiaan di mobil ini. Sumpah. Ngalahin kamar pasien di rumah sakit. Kalau Bapak pergi sama Mbak Kania kayak gini juga?" Saat nama Kania lolos dari bibir Laras, genggaman Alby di setir mengetat.
"Mau ngapain lagi? Salto?"
"Yah, nggak salto juga atuh, Pak. Ngobrol. Nyalain radio, terus nyanyi bareng. Pegangan tangan. Mesra-mesraan. Banyak yang bisa dilakuin di mobil gini."
"Kenapa? Kamu mau ngelakuin itu sama saya?"
"Saya bukan ban serep, dipake kalau yang utama rusak atau kenapa-kenapa." Laras tidak menduga mobil diberhentikan lampu merah, Alby jadi bebas menoleh dan melihat gaya terluka buatannya, tangan di dada, memberengut. Menyadari tatapan Alby lebih serius dari sebelumnya, Laras menyengir. "Just kidding."
Laras cepat-cepat duduk lurus, menyerah pada keheningan mobil. Seharusnya dia tidak lupa, lelaki di sebelahnya adalah gunung es Mega Tarinka. Kalau Alby mengantarnya pulang, bukan berarti gunung es mencair.
"Kamu selalu kayak gini ya, Ras?" Alby bertanya lima belas menit kemudian.
Laras menoleh, tetapi belum berani menjawab.
"Apa kamu bakal bersikap seperti ini juga ke Mas Diaz?"
"Nggak."
"Kenapa ke saya, kamu berani?"
"Karena Pak Alby atasan saya."
"Mas Diaz juga atasan kamu."
"Nah itu! Level atasan Pak Diaz tuh tinggi. Kalau di game, Pak Diaz itu bos besar setiap mau naik level."
"Saya?"
"Musuh yang harus dikalahin selama level berlangsung, sebelum menghadap bos."
Alby memiringkan kepala ke kanan sedikit, menyandarkan siku ke kaca jendela, mengusap tengkuk, terlihat jengkel. "Jadi maksud kamu, saya—"
"Bapak juga penting! Tapi, kita bersinggungan setiap hari soal kerjaan. Secara naluriah saya lebih nyaman bersikap nonformal sama Bapak daripada Pak Diaz. Walaupun Pak Diaz suami sahabat saya, tetap saja dia kepala dari semua kepala di perusahaan—"
"Pusat dari perusahaan masih dipegang sama eyang saya, Ibu Maria Wilhemina Bagaskara. Mas Diaz dan saya masih digaji, kayak kamu."
Laras menaikkan satu alisnya. "Kenapa jadi bahas Ibu Maria?"
"Kamu yang bilang Maz Diaz kepala dari semua kepala di pe—"
"Intinya saya nggak nyaman. Setop! Masalah selesai!" Lebih baik mengakhiri pembicaraan daripada tidak berujung. "Elora salah khawatir, nih...."
Satu alis tebal Alby ikut terangkat. "Apa lagi yang dikhawatirkan Elora?"
"Dia khawatir saya baper sama Bapak. Seharusnya nggak perlu, terbukti Bapak lebih baperan dari saya."
"What?!"
"Memang Bapak baperan. Saya bilang lebih sungkan sama Pak Diaz, eh, Pak Alby mukanya langsung ditekuk gitu."
"Nggak. Saya biasa aja."
"Oh ya?"
"Iya! Lagi pula ...." Alby meliriknya sebentar, lalu kembali fokus ke jalan. "Saya nggak bakal baper sama kamu. Elora ada-ada aja. Emang saya anak kemarin sore yang diperhatikan dikit langsung jatuh hati? Butuh lebih dari itu."
"Saya tahu, Pak." Laras menarik paksa kedua sudut bibirnya ke atas. "Usahanya harus lebih keras dari Mbak Kania. Itu aja masih abu-abu. Betul, kan, Pak?"
Alby tidak menjawab.
Setelahnya suasana kembali seperti di awal, hening. Laras diam-diam mengembuskan napas lambat, menyesal kenapa terus menyembut Kania. Membawa Kania diobrolan seperti memaksa diri buat dekat sama Alby. Jemari Laras bermain di atas tas yang dia pangku, menimbang buat meminta maaf atau tidak. Namun, mulutnya ini susah dikontrol kalau sudah terbuka, nanti ujung-ujungnya Kania tersebut lagi.
"Nggak ada satu pun perempuan yang mampu ngalahin atau mengimbangi Kania. Apa yang dikorbankan Kania belum tentu mampu dilakukan perempuan lain."
Dan mendadak Laras merasa ditampar oleh sesuatu yang menyakitkan. Aura cinta luar biasa dari Alby untuk Kania memenuhi mobil. Membuat tubuh Laras menggigil sekaligus kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
RomanceKecelakaan fatal membuat Kania dan Alby dipaksa berpisah jarak. Seakan belum cukup kacau, sebuah kesalahpahaman juga membuat keluarga Kania mempertanyakan keseriusan cinta Alby. Ditentang dan mulai kehilangan dukungan. Apakah kebersamaan hanya sebat...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi