Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi

5. Barry Narendra

57.7K 5.5K 195
                                    



BARRY BARU bangun dari tidur siang yang panjang, rencana menikmati sisa hari dalam ketenangan sepertinya berhasil. Dia masuk pukul 13.00, sekarang 18.30, dan tidak ada gangguan yang datang.

Tidak perlu drama membujuk Kania, karena cewek itu sudah memberitahu besok bakal latihan tanpa drama. Kewajiban laporan ke Alby pun tidak perlu, karena sudah bertemu sama Kania tadi pagi. Andai saja hari bisa berjalan terus seperti ini ....

Barry memiringkan badan, mengambil ponsel—ada dua telepon dari sang kakak dan tiga dari adik perempuannya. Baru saja dia berniat untuk menghubungi ulang salah satunya, pintu kamar diketuk nyaring. Barry meletakkan kembali ponsel di samping bantal. Dengan berat hati memisahkan diri dari ranjang, mengambil secara asal kaus abu-abu dan memakainya cepat sebelum membuka pintu. Ada Bik Ninuk memasang wajah panik, dan Barry langsung tahu sebabnya. Rasanya tenang itu hanya mitos selama dia tinggal dan kerja di sini.

"Kenapa, Bik?" tanyanya sambil bersandar malas di kusen pintu, berusaha terlihat lemas—kelelahan.

Bik Ninuk tidak menjawab, langsung saja menggeret Barry, membuat dia kelimpungan menutup pintu kamar.

"Ada apa, sih? Gawat? Gempa bumi? Kebakaran? Kenapa?" Mau tidak mau Barry pasrah.

Bik Ninuk tidak menjawab, terus menyeret Barry menaiki tangga lalu berjalan cepat sampai ke depan pintu kamar Kania.

Gue pikir ketemu Alby bikin nih cewek tobat, ternyata mental, Gaes! runtuk Barry dalam hati. Barry siap bertanya lagi, tapi Bik Ninuk sudah lebih dulu membuka pintu sedikit—cukup untuk mereka mengintip apa yang terjadi di dalam sana. Tidak ada tangisan atau keributan seperti dugaan Barry, hanya Kania yang duduk di depan pintu kaca dan memangku sebuah kotak entah apa.

"Dari keluar ruangan Bapak, Non Nia aneh. Di kamar diam terus. Pas Bibik anterin makan, si Non nggak mau makan tapi bilang terima kasih. Kan, Bibik jadi takut Mas. Kenapa ya?" 

Barry memiringkan kepala dan bersedekap, terus saja memperhatikan cara Kania memandang jauh keluar sana, berusaha menemukan jawaban dari hal aneh yang diceritakan Bik Ninuk.

"Mas Barry ...."

"Bik Ninuk siapin aja buah dan obat-obatan Mbak Kania, biar saya yang cari tahu sekalian bujuk Mbak Kania makan."

Tidak memaksa untuk ikut mencari tahu, Bik Ninuk membiarkan Barry masuk seorang diri dengan pergi begitu saja. Barry merasa lucu dan khawatir secara bersamaan. Bagaimana kalau cewek satu ini memang mengalami suatu yang serius dan bersentuhan dengan alam lain? Diam dan mengucapkan terima kasih? Dua hal paling jarang dia temukan selama berhadapan dengan perempuan itu.

"Berapa lama kamu kenal Alby?" Kania langsung bertanya, begitu dia menarik bangku kecil dan duduk di samping kursi roda.

"Dari SMA." Sepersekian detik Kania menoleh lalu kembali memandang keluar kaca pintu.

"Kenapa saya nggak pernah dengar apa-apa tentang kamu?"

"Mungkin, karena komunikasi kami seadanya. Jadi, Alby merasa menceritakan segala sesuatu tentang saya bukan hal yang menarik." Entah hanya perasaannya saja, atau memang sesuatu yang rumit sedang memenuhi otak Kania. Mata cewek itu kelelahan, tapi guratan-guratan di wajah bersikeras terlihat kuat.

"Apa dia pernah cerita tentang saya?" Kania kembali menoleh dan menuntut kejujuran lewat tatapan.

Barry menelan ludah kasar. Dia tidak pernah mendengar apa-apa tentang cewek ini dari Alby, hanya sekadar tahu kalau Alby—Kania bersama. Namun, memberitahu hal itu rasanya bukan suatu yang bijak. Ketika dia sibuk menggali ingatan, siapa tahu menemukan kalimat Alby tentang Kania. Cewek itu tiba-tiba tertawa pelan, dan bulu-bulu halus di seluruh tubuh Barry meremang. Untuk pertama kalinya dia mendengar tawa Kania, meski terdengar getir ... tiba-tiba saja dadanya merasa sakit, seperti ada yang menohok.

"Mbak Nia ... makan aja, yuk. Habis itu minum obat dan istirahat."

"Alby nggak pernah cerita tentang saya?" Dengan perasaan tidak enak hati Barry menggeleng, berharap pembicaraan aneh ini akan selesai setelahnya. "Mungkin, menceritakan apa-apa tentang saya bukan sesuatu yang menarik." Kania sedikit memundurkan kursi roda, mengatur sedemikian rupa sampai mereka saling berhadapan. "Apa dia pernah cerita tentang Mbak Elora?"

Seharusnya Barry tidak bereaksi untuk kenyamanan semua orang, tapi mendengar nama Elora membuatnya tersedak ludah sendiri. Itu rahasia besar sekaligus kotor seorang Alby Bagaskara, kalau sampai itu bocor ke mana-mana—hubungan kakak adik taruhannya. Bisa-bisa Alby dihabisi kakaknya. Bagaimana bisa Kania ... dan Kania tertawa pelan, lagi. "Mbak Nia ...."

"Awal saya dan dia berhubungan, hanya cinta bertepuk sebelah tangan saja. Saya mencintai dia habis-habisan, tapi dia menolak saya mati-matian. Bagi kami, hubungan ini hanya panggung sandiwara."

Barry berdeham. "Mbak Nia, dengar—"

"Hari ini saya nekat tanya ke Mama-Papa alasan saya dikurung kayak gini, alasan saya nggak boleh ketemu Alby. Jawaban mereka dan jawaban kamu, lalu sejarah hubungan kami ... membuat saya maklum."

"Wow. Wow. Ini kita bahas apa ya? Maklum apa? Mbak, dengar, Alby—"

"Mungkin, keajaiban benda ini udah selesai. Atau nggak pernah ada keajaiban..." Tiba-tiba Kania membuka kotak yang dipangku sedari tadi, mengeluarkan kalung—yang menghentikan napas Barry begitu benda itu terangkat ke udara. "Mau dengar hal gila? Saya nyaris mengakhiri hubungan kami itu di depan umum. Saat niat itu datang, kalung ini diberikan oleh seorang wanita tua di dalam lift. Katanya ada waktu yang tepat untuk memulai ataupun mengakhiri, lalu saya melihat hal-hal aneh—seperti melihat hasil kalau ...."

Barry berdiri, mengabaikan wajah dan panggilan bingung Kania ketika dia memutuskan keluar kamar tanpa memedulikan kesopanan. Dia bersandar di dinding samping pintu, berusaha keras bernapas normal. Apa-apaan tadi itu? Barry menengadah ke langit-langit rumah, sama sekali tidak menyangka akan melihat kalung itu lagi. Kalung yang dia bakar sendiri ketika benda sialan itu berhasil mengantarkan dia dan keluarganya ke titik terendah kehidupan, menciptakan luka parah yang jauh dari kata sembuh. Kenapa kalung itu ada di Kania? Apa hanya mirip?

Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang