——————"SAYA HARAP kamu datang bersama hasil yang saya mau." Alby berdiri dari kursi, lalu berjalan menuju sofa hitam panjang—memberi kode untuk Putra menutup horizontal blinds seluruh ruangnya.
"Ada, Pak." Putra menyahut sambil menutup blinds dengan cepat. "Namanya Arnanda Arga Baskoro, kerjanya Event Organizer, tinggal masih gabung sama orang tua—punya usaha toko sembako di Tangerang." Putra menyerahkan semua data itu ke Alby, yang langsung diterima dan baca dengan serius oleh Alby. "Hidupnya clean, nggak ada jejak kriminal atau masalah di pekerjaan. Dan Saudara Arnanda ini memiliki pacar karyawati di perusahaan kita, Pak, Larasati Pertiwi—accounting staff."
Informasi ini tidak berguna, tidak ada titik terang apa pun. Jengkel. Alby melemparkan kasar map itu ke meja di depannya. Alby menyilangkan kaki, satu kaki bertumpu ke kaki lain. Lalu bersedekap dengan kening mengerut.
"Pak? Sebenarnya, kenapa Bapak tiba-tiba minta saya menyelidiki orang ini? Apa ada—"
"Ikuti orang itu selama dua atau tiga hari, pastikan keseharian dia seperti apa." Menyadari Putra kebingungan, Alby cepat-cepat melanjutkan kalimatnya, "Turuti saja. Sudah pulang sana dan lanjutkan pekerjaan kamu besok, saya mau laporan perhari."
"Baik." Putra berpamitan singkat, lalu berjalan menuju pintu—mungkin ada hal yang terlupakan—Putra kembali berbalik tanpa melepaskan tangan dari gagang pintu. "Apa Bapak mau tahu tentang laki-laki ini, karena berkaitan dengan Laras?"
"Sejak kapan kamu jadi banyak tanya seperti ini?"
Bibir Putra terbungkam, lelaki itu menunduk ketakutan.
"Lakukan saja perintah saya."
"Baik, Pak."
Saat pintu ruangan terbuka oleh Putra, tak sengaja Alby melihat kondisi di luar sana—beberapa kubikel sudah tidak berpenghuni—termasuk kubikel Laras.
Alby menghela napas kasar dan memijat tulang hidung bersamaan. Buat apa dia berpikir sekeras ini? Seharusnya dia lebih keras memikirkan cara untuk bertemu Kania dengan bebas, bukan ini.
"Sialan!" Alby berdiri cepat sambil mengumpat. Dia berlari cepat ke arah meja kerja, menutup laptop setelah memastikan semua data sudah tersimpan aman. Ia lalu mengambil kunci mobil dan jas berbarengan,dan keluar dengan tergesa-gesa.
Dia menghampiri pemilik kubikel sebelah Laras. "Sudah berapa lama Laras pulang?"
"Apa, Pak Alby?" Si cewek berkacamata ber-name tag Cynthia, memasang wajah kaget campur bingung. Cynthia melirik kubikel Laras, ekspresi cewek itu jelas memberi tahu tidak tahu kapan Laras pergi.
Alby menghela napas kasar. "Lupakan," katanya, lalu meninggalkan area kubikel—setengah berlari menuju lift. Lift terbuka dan membawanya ke lobby, sesampainya di lobby—Alby segera menuju resepsionis, menanyakan hal yang sama—tentang Laras—apakah melihat Laras keluar. Dan jawabannya sama, tidak tahu. Tidak patah arang, Alby bertanya kepada security dan dia mendapatkan jawaban pasti; Laras belum keluar dari gedung Mega Tarinka.
Mata Alby langsung tertuju ke tangga darurat, tanpa banyak tanya lagi dia langsung mendorong pintu darurat itu, lalu berlari menaiki tangga. Dan ya, seperti yang pernah terjadi kemarin—cewek itu duduk di salah satu anak tangga—meletakkan kening di atas kedua lutut yang tertekuk.
"Ngapain kamu di sini?" Alby bertanya setelah berhasil mengatur napasnya kembali normal.
"Ngapain Bapak lari naik tangga kayak dikejar maling?" Laras balik bertanya tanpa mengangkat wajah. "Jangan tanya bagaimana saya bisa tahu, suara kaki Bapak terlalu heboh, bergema."
"Saya lapar."
"Ya, makan atuh, Pak. Ngapain lari tangga darurat, terus laporan ke saya? Emang saya kantin atau restoran berjalan?" Laras masih tidak mau mengangkat wajahnya.
"Saya lapar."
Laras menyerah. Cewek itu mengangkat wajah dan memandang Alby. "Saya mau ke Timezone atau Fun World."
"Ayo."
"Saya nggak lapar, saya—"
"Kamu temani saya makan, saya temani kamu ke tempat main itu. Adil." Dengan tidak sabar, Alby menarik tangan Laras. "Jangan protes lagi!"
Laras mengatupkan bibirnya, pasrah mengikuti Alby menuruni tangga. Sementara Alby setengah mati meredam gejolak aneh di dadanya, yang tiba-tiba muncul beberapa detik setelah tangannya berkaitan dengan tangan Laras. Tidak seperti tangan Kania yang lembut, tangan Laras sedikit kasar.
"Pak, saya bisa turun sendiri. Kalau kita ke lobi gandengan gini, nanti bakal ada gosip saya ngikutin jejak Elora."
Alby berhenti, melepaskan tangan Laras dengan cepat. Untuk beberapa detik, dia mengamati wajah Laras. Ada memar baru, di tulang rahang Laras tepat di bawah telinga cewek itu, yang Laras tutupi dengan make up—sayangnya make up itu mulai luntur—memunculkan samar memar.
"Brengsek!" umpat Alby.
"Pak?"
"Kamu dipukul lagi semalam?"
Kedua mata Laras melebar, seperti yang terjadi kemarin, perempuan itu panik. "Pak?"
"Mau sampai kapan kamu kayak gini?! Hah?"
"Pintunya belum ketemu, Pak," jawab Laras dengan suara parau dan air mata yang menggenang di pelupuk mata. "Bagaimana saya bisa keluar, kalau—"
"Saya pernah mundur dalam kasus seperti ini. Saya tahu ada kekerasan yang dilakukan laki-laki ke perempuan, tapi saya diam. Saya nggak bergerak setelah disuruh nggak ikut campur. Kamu tahu hasilnya? Sekarang perempuan itu meringkuk di rumah sakit jiwa! Semua keluarganya kesusahan! Kamu mau berakhir seperti itu?! Saya mau tutup mata sekali lagi. Seperti yang kamu bilang, hubungan kita profesional. Tapi, saya—" Dada Alby naik turun tidak beraturan. "Waktu itu mereka sudah terikat pernikahan, mungkin banyak pertimbangan bertahan sampai kehabisan batas seperti itu. Tapi kamu, status kalian masih pacaran. Kamu—"
"Kami punya video seks." Seketika hening, napas Alby terasa sangat berat. "Bapak nggak mikir saya ini perempuan polos dan lugu, kan?" Laras tertawa sumbang, seperti kemarin malam. Dan itu sangat menyakiti hati Alby, untuk alasan yang tidak jelas. "Dia punya video itu dan mengancam akan menyebarkan, kalau saya ninggalin dia. Seandainya saya punya keluarga yang menganggap seks di zaman modern ini hal lumrah, mungkin akan mudah. Tapi, keluarga saya menganggap mahalnya perempuan dari selaput darah. Kalau sampai video itu tersebar, Mama saya, Eyang saya—ah, kenapa saya harus menceritakan ini ke Bapak? Memalukan. Elora saja nggak saya—"
Cukup satu tarikan Alby sudah berhasil membawa Laras masuk ke pelukannya, seolah cara itu cukup membuat perempuan itu merasa aman. Mereka terkurung dalam hening yang cukup panjang, sampai Alby merasakan kedua tangan Laras membalas dan mencengkram sisi belakang punggungnya.
"Kalau pintu yang kamu maksud masih sulit ditemukan, saya bakal kasih pintu baru buat kamu."
"Kenapa, Pak?"
"Ini urusan pribadi kamu. Saya tahu. Tapi ...." Alby menimbang lanjutan kalimatnya. "Seorang teman harus saling membantu, kan?"
Teman? Sejak kapan, By? Gila. Gue gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
RomanceKecelakaan fatal membuat Kania dan Alby dipaksa berpisah jarak. Seakan belum cukup kacau, sebuah kesalahpahaman juga membuat keluarga Kania mempertanyakan keseriusan cinta Alby. Ditentang dan mulai kehilangan dukungan. Apakah kebersamaan hanya sebat...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir