Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

3. Barry Narendra

65.7K 6K 178
                                    


—————

SEBULAN BARRY bekerja di rumah pengusaha properti nomor wahid di Indonesia, mengurus anak kedua di keluarga ini yang kesulitan berjalan akibat kecelakaan hebat lima bulan lalu. Berusaha betah, meski setiap penghuni rumah mewah termasuk si anak kedua, Kania Anandhita Atmadja, membuatnya ingin kabur. Bayangkan saja saat pertama kali mereka bertemu, Kania histeris sambil bicara; Nggak! Kamu nggak nyata!

Barry nyaris menyahut; Maksud lo, gue hantu? Namun, mengingat usaha Alby selama sebulan penuh, bahkan menambah daftar panjang kebaikan lelaki itu untuk dia sekeluarga. Pemindahan mamanya ke rumah sakit jiwa bagus di Bandung, memberikan pekerjaan tetap ke kakak iparnya, menambahkan uang bulanan sang adik. Dengan semua itu bagaimana bisa Barry mengacaukan permintaan sederhana Alby, menjaga Kania.

"Mas Barry ...."

Barry yang tengah duduk di ruang tamu terpaksa menengadah ke sumber suara, di lantai dua. Pasti drama lagi, batin Barry begitu melihat wajah kusut Bik Ninuk. "Kenapa, Bik?"

"Ke atas."

Tuh, kan, benar! Gila ya nih cewek, sehari tanpa drama kayaknya nggak bisa, omel Barry. Tentu saja dalam hati, masih sayang nyawa. "Emang Mbak Kania belum bangun?"

"Sudah. Tapi nggak mau bersiap ke rumah sakit, dan Ibu sudah terlanjur pergi arisan." Suara Bik Ninuk semakin terdengar putus asa.

Barry menunduk sebentar, mengembuskan napas pelan-pelan, mengingatkan diri sendiri untuk sabar. Setelah merasa siap menghadapi kekacauan di atas sana, Barry kembali menengadah lalu berkata, "Kali ini biar saya saja yang bujuk. Bik Ninuk siap-siap saja dulu, ganti baju, atau apa gitu ...." Barry berdiri dan menaiki tangga dengan cepat, berhenti sebentar di samping Bik Ninuk. "Dandan yang cantik sana, siapa tahu ada satpam ganteng di rumah sakit."

"Mas Barry gelo." Satu tangan Bik Ninuk berniat melayangkan pukulan, tetapi Barry dengan gesit menghindar sambil terkekeh.

Barry menuju ke kamar Kania, menyadari Bik Ninuk masih mengikuti membuat Barry mendadak berhenti dan berbalik. "Sana, Bik. Siap-siap dulu."

"Terus si Non gimana?"

"Saya yang bujuk, Bik Ninuk siap-siap dulu. Jadi, kalau Mbak Kania udah luluh—Bibi tinggal bantu Mbak Kania bersiap, terus kita berangkat. Saya takutnya udah luluh, eh, merajuk lagi selama nunggu Bik Ninuk ganti baju." Barry berusaha meyakinkan Bik Ninuk, dia perlu membujuk Kania dengan membawa nama Alby, artinya tidak boleh ada Bik Ninuk di sekitar mereka. "Ih, si Bibi mah nggak perlu khawatir, Mbak Kanianya nggak bakal saya todong pistol."

Bik Ninuk menyerah, lalu turun meninggalkan Barry.

Kemudian, Barry memasuki kamar Kania tanpa mengetuk lebih dulu. Perempuan berambut marbel brown sebahu itu sedang duduk di depan pintu kaca menuju balkon, nyaris teriak ketika melihat dia berdiri di samping kursi roda.

"Udah sebulan loh, Mbak ... masih mikir saya nggak nyata?" tanya Barry skeptis.

Kania memutar bola mata malas lalu memundurkan kursi roda otomatis itu, menjauhi Barry. "Saya nggak mau ke rumah sakit. Saya benci tempat itu."

"Kalau Mbak nggak check-up, nanti saya dan Bik Ninuk kena marah Ibu."

"Bukan urusan saya."

"Mbak ...." Barry menghentikan kursi roda Kania secara paksa, memasang wajah serius yang belum pernah dia tunjukkan. "Mbak nggak mau minum obat, nggak mau latihan jalan, nggak mau check-up—sebagai bentuk protes ke orang tua karena diperlakukan seperti tahanan tanpa alasan, betul?" Wajah cantik Kania terlihat tidak suka dengan kalimat Barry. "Sebelumnya saya mohon maaf dulu, nih. Tapi saya harus bilang, apa yang Mbak lakuin sia-sia. Semakin lama kaki Mbak pulih, semakin lama pula Mbak diperlakukan seperti sekarang."

Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang