——————SEPULUH MENIT berlalu. Alby masih berdiri di depan Kania, yang menunduk dan memilih menatap lantai daripada wajahnya. Perlu satu helaan napas yang panjang dan berat sebelum akhirnya Alby berhasil bicara, "Kamu antrian nomor dua." Ketika dia berjalan ke belakang Kania, dengan cepat tangan perempuan itu menahannya—persis di samping.
Perlahan Kania menengadah dan mengunci matanya. Kedua tangan Kania bergerilya, mengusap-usap lengan hingga perutnya. Kemudian menempelkan kening di lengannya, terisak
Alby mengusap lembut puncak kepala Kania. "Bisa nggak nangisnya ditunda dulu? Kita pindah duduk di ujung sana lebih enak buat ngobrol." Lalu, menangkup pipi Kania. Mencoba menyampaikan rindu, yang rasanya sulit keluar dari bibir. "Nia ...."
Kania melepaskan dan menjauh dari tangannya, menghalau genang air mata, lalu memberikan seulas senyum yang menghiasi mimpinya nyaris setiap hari. "Ayo."
Mereka pindah ke tempat yang dia tunjuk. Duduk berdamping di depan ruang praktik yang belum nampak tanda-tanda kehadiran sang dokter, saling menggenggam dalam hening. Sesekali tangan Kania yang lain mengusap punggung tangannya, mengirimkan aliran hangat ke seluruh penjuru tubuhnya.
"Maaf ...." Hanya kata itu yang mampu dia ucapkan.
Kania menggeleng pelan. "Are you okay? Kamu sakit?"
Harusnya pertanyaan itu dari dia untuk Kania, bukan sebaliknya. "Ya. Aku baik-baik aja. Aku sehat, Nia. Justru aku khawatir banget sama kamu. Aku nggak bisa di samping kamu. Aku nggak bisa memastikan sendiri kondisi kamu." Kania melepaskan genggaman tangan mereka, mengusap wajahnya. Sorot mata Kania menegaskan bahwa perempuan itu tidak percaya pada kondisinya, seolah dia sedang sakit parah. "Aku serius, Nia. Aku sehat. Alasan aku nggak bisa di samping kamu, bukan aku. Mama-Papa kamu menutup semua akses dunia luar ke kamu, bahkan Tante Yohana meminta agency kamu membuat pengumuman kamu mundur dari dunia model." Ekspresi Kania datar. "Beberapa hari setelah kecelakaan kamu dibawa ke Singapore. Aku datang tiap hari, tapi nggak pernah bisa masuk. Alasannya, mereka mau kamu sembuh total dulu. Kamu dibawa pulang ke Jakarta, aku tetap nggak bisa ketemu kamu."
"Aku—" Belum juga Kania menanggapi kalimatnya, mendadak Barry muncul dan berdiri di depan mereka dengan wajah pias dan napas naik turun.
"Pergi. Sekarang!" tegas Barry ke Alby. "Ibu datang."
"Mama!?" Kania menoleh panik, begitu pun Alby.
"Sumpah! Gue nggak tahu bakal begini, sebelumnya Bik Ninuk bilang Ibu arisan sampe sore," kata Barry semakin panik.
"Oke." Alby berdiri, lalu menatap Kania. "Kamu harus rajin latihan jalan. Kamu masih utang liburan bareng sama aku." Dia membelai pipi kanan Kania sebentar. "Titip Kania, Bar." Kemudian berlari cepat menuju tangga darurat.
*****
Alby mengumpat, tidak terima pertemuannya dengan Kania begitu singkat. Dia masih mau memeluk perempuan itu, belum puas melepaskan rindu. Beberapa pikiran melintas di benak Alby. Dia tidak lagi melakukan kesalahan, dan hubungan dengan Kania pun jelas. Seharusnya tidak masalah kalau dia memaksa buat menemani Kania check-up hari ini, toh, dia sudah banyak mengalah. Namun, membayangkan kemungkinan demi kemungkinan di hari esok, membuat Alby menekan lagi egonya sampai ke dasar.
Meski berat, Alby akhirnya meninggalkan rumah sakit. Berharap tidak ada satu pun orang suruhan keluarga Atmadja yang melihat dia atau mobilnya. Sepanjang jalan, satu demi satu ingatan tentang Kania berputar di otak Alby. Sakit yang tadinya diabaikan, menyeruak ke setiap sendi di badan Alby—sangat menyakitkan sampai Alby nekat menepikan mobilnya di jalan tol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
RomanceKecelakaan fatal membuat Kania dan Alby dipaksa berpisah jarak. Seakan belum cukup kacau, sebuah kesalahpahaman juga membuat keluarga Kania mempertanyakan keseriusan cinta Alby. Ditentang dan mulai kehilangan dukungan. Apakah kebersamaan hanya sebat...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi