——————HARI SEMAKIN larut, gedung Mega Tarinka pun telah kehilangan sebagian besar penghuninya—cuma tersisa segelintir orang—pejuang lembur. Laras bukan salah satu pejuang lembur. Pekerjaannya telah selesai. Dia saja bingung mau apa, tetapi ini tempat paling aman.
Laras mematikan komputer, memperhatikan jarum jam di tangannya berganti secara lambat, memaju-mundurkan kursi, stretching, sampai akhirnya dia melepaskan scarf fashion salem yang melilit lehernya sejak pagi. Melalui kaca segi empat berukuran kecil yang tertempel di kubikel, Laras menatap nanar memar di kulit lehernya. Perlahan keceriaan di matanya memudar, berganti sendu dan frustrasi.
"Aku udah pernah bilang, Ras! Aku nggak mau lepasin kamu! Kalau kamu nekat, aku kirim video itu ke Mama kamu atau sebar di Youtube! Kalau kamu masih nekat juga, lebih baik kita mati bareng!"
Laras menunduk dalam-dalam sampai keningnya menyentuh pinggiran meja, beberapa kali membenturkan pelan keningnya untuk menghilangkan bayang-bayang sang pacar—Arga, yang menarik, memukul, bahkan mencekik lehernya. Mati bareng? Laras menangis getir tanpa suara sampai seluruh bahunya bergoyang hebat, satu tangannya merambat naik dan memukul tepat di tengah dadanya pelan. Dia harus segera menemukan cara untuk keluar dari neraka ini. Harus.
"Lembur lagi?" Suara yang datang tiba-tiba membuat Laras kelimpungan. Dia tergesa menghapus air mata dan melilitkan scarf secara asal, lalu mengangkat kepala dengan senyum lebar. Senyum jenaka Laras siap menggoda siapa pun di depannya—termasuk Alby.
"Eh, Pak Alby. Iya nih, ada beberapa laporan yang enaknya dikerjain waktu kantor sepi. Kayak sekarang ... tapi, udah beres. Ini, saya mau pulang." Laras memandang Alby sebentar, lalu berdiri sambil menarik tasnya dan mengganti sandal jepit dengan high heels. Sebisa mungkin menyembunyikan kesedihan yang berakar di hatinya. "Kayaknya tadi saya liat Bapak pulang deh, sekitar jam 5 kurang, kok balik ke sini? Ada yang ketinggalan?" Mencoba mengalihkan Alby, yang jelas-jelas sedang menyelidikinya.
"Siapa bilang saya pulang? Saya di atas, meeting sama Mas Diaz dan beberapa direksi."
Sambil mengangguk, Laras keluar dari area kubikel lalu berkata, "Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak."
"Tunggu." Alby menghentikannya, bergeser sedikit dan mensejajarkan posisi mereka.
Jarak yang terlalu dekat dan tatapan Alby, membuat Laras sangat tidak nyaman. Ketika dia siap untuk melemparkan candaan, Alby lebih dulu mengulurkan tangan dan menarik scarf. Untuk sesaat mereka hanya saling menatap tanpa melakukan apa pun. Laras memutus pandangan dan mengatur napas sebelum mengambil kembali scarf dengan hati-hati.
"Itu—"
"Iya," sahut Laras cepat sambil melilitkan kain bermotif bunga tulip ke lehernya. "Apa pun yang Bapak pikirkan sekarang, yang mungkin berdasarkan apa yang dilihat kemarin malam ... jawabannya, iya." Melihat bibir Alby sudah terbuka, lagi, Laras mendahului. "Jangan tanya kenapa saya nggak memutuskan dia, saya mau. Berkali-kali saya susun rencana buat kabur. Sialnya, saya belum ketemu juga pintu keluarnya. Kayak ... diumpetin orang."
Alby mengatupkan bibir tanpa melepas pandangan dari Laras, dan itu menguras emosi yang mati-matian disembunyikan Laras. Semakin lama mata kelabu penuh rahasia itu memandangnya, semakin ingin dia merengek diselamatkan. Kerongkongan Laras sedikit tercekat. Keinginan itu haram hukumnya. Dia mengalihkan pandangan ke lantai sebentar, lalu kembali mengangkat wajah sambil mengibaskan satu tangan di depan wajah Alby.
"Sudah. Sudah. Bapak jangan masang tampang gitu, kayak lagi mikirin utang negara yang nggak ada abisnya. Saya kan—"
"Laras—"
"Jangan, Pak. Jangan bilang; saya bisa bantu." Laras meringis. "Saya yang terlibat langsung aja nggak bisa nemuin jalan keluar, apalagi Bapak ... dan lagi, sejak kapan urusan pribadi karyawan ikut dipikiran sama atasan macam Bapak. Kecuali, atasan itu punya something special kayak Pak Diaz dan Elora."
"Sorry?"
Lalu, Laras sengaja tertawa keras-keras. "Bercanda, Pak. Biasa aja kali tuh kening! Udah ah, nggak pulang-pulang saya ... tambah malam, nih. Eits! Jangan bilang mau antar saya lagi. Bapak mau besok saya nggak masuk kerja?"
Siapa sangka kalimat itu justru membuat Alby menarik ujung lengannya, menuntun menuju depan lift. Beberapa kali dia berusaha meloloskan diri, tapi rengkuhan tangan Alby terlalu kuat. Saat mereka sudah di depan lift dan tangan Alby melonggar, Laras cepat-cepat melepaskan diri.
"Pak Alby!" Tanpa sadar suaranya meninggi.
"Orang itu—"
"Ya? Kenapa orang itu? Apa yang mau Bapak lakuin ke dia? Bagaimana cara Bapak melepaskan saya dari dia? Mau bilang saya ini punya hubungan khusus sama Bapak?" Laras tidak bisa menahan tawa sumbangnya. "Kalau sesimple itu ... saya sudah lama bebas. Udahlah, Pak. Hubungan kita ini kan profesional kerja aja, harusnya Bapak lebih mikirin Mbak Kania bukan saya."
Alby tertegun.
Momen diam yang aneh terbentuk, detik demi detik yang berlalu terasa begitu lama dan berat. Hingga lelaki berperawakan tinggi berotot itu melewatinya untuk memencet tombol lift, lalu bicara dengan posisi memunggunginya, "Kalau perlu tempat berlindung, kamu boleh datang ke Red Lion ... bilang saja, kamu kerabat saya dan Elora."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
RomanceKecelakaan fatal membuat Kania dan Alby dipaksa berpisah jarak. Seakan belum cukup kacau, sebuah kesalahpahaman juga membuat keluarga Kania mempertanyakan keseriusan cinta Alby. Ditentang dan mulai kehilangan dukungan. Apakah kebersamaan hanya sebat...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi