07. I Need Help

94 19 106
                                    

Jihoon menghentikan langkahnya usai mendengar pertanyaan Jinyoung. Kali ini ia berbicara sambil menatap lawannya. Sempat membulatkan matanya sesaat, tapi kemudian tertawa.

"Kau bilang apa? Aku baru kenal dengannya kemarin, mana mungkin." Jihoon menggeleng. "Aku bukan kau, Bae."

"Lalu kenapa kau tidak mau membantuku?" Jinyoung melipat kedua tangannya.

"Sekarang aku balik bertanya, kenapa kau tidak mencari tahu sendiri?" Lelaki itu mengangkat kedua alisnya.

Jinyoung yang ada di sampingnya itu justru terkekeh. Ia mengusap belakang kepalanya sambil tertunduk. "Malu."

Sekarang bergantian, Jihoon yang melipat tangannya di depan dada. Ia sedikit menunduk dan mendapati wajah Jinyoung yang memerah. Namun, Jinyoung berusaha mengatur ekspresi wajahnya karena ia tahu bahwa setelah ini Jihoon pasti akan menertawakannya.

Jihoon menggeleng sembari menarik kedua sudut bibirnya. Pasalnya, ia mengenal Jinyoung—tepatnya semua anggota Wanna One—dari sebuah acara survival dan ia tahu betapa pemalunya anak itu. Penampilannya pertama kali masih membekas di ingatan Jihoon. Lelaki dengan pakaian serba hitam dan topi yang digunakan untuk sedikit menutup wajahnya. Bahkan saat ia menunjukkan kebolehannya pun ia sedikit menunduk. Namun, sekarang? Bae Jinyoung sudah bertumbuh.

"Rasanya aku ingin tertawa saja mendengar pengakuan singkatmu itu," ucap Jihoon dengan tangan yang diletakkan menutupi mulutnya.

"Ya! Hyung~ Benar, 'kan, seharusnya aku tidak perlu bilang."

"Tidak apa-apa, aku akan mengerti," lanjut Jihoon, disertai dengan tawanya. "Memangnya kenapa kau sangat ingin kenal dengan Ara? Sekuat itu daya tariknya, ya?"

"Ne," angguk Jinyoung dengan segera. Namun, beberapa detik kemudian matanya memicing. "Tunggu ... kau bertanya seperti itu bukan untuk meledekku lagi, 'kan? Aku tidak mau cerita kalau begitu."

"Kau sudah tidak percaya dengan hyung-mu lagi? Ah, geurae." Jihoon melirik Jinyoung sebentar kemudian beralih pergi, mendekati pemutar musik. "Aku mau lanjut latihan saja."

"Jihoon Hyung! Ish, kau jadi sensitif sekali. Begitu saja langsung marah," keluh Jinyoung sembari memanyunkan bibirnya. "Baiklah aku akan cerita."

"Kalau begitu, kita duduk dulu."

Seperti apa yang diperintahkan Jihoon, Jinyoung mengikutinya. Mereka berdua duduk di dekat pemutar musik yang terletak di depan kaca ruangan. Jinyoung menceritakan kesan pertamanya terhadap Ara, bagaimana ia bisa begitu ingin tahu dan kenal lebih dekat dengan gadis itu.

Kim Ara begitu polos dan cenderung ceroboh di mata Jinyoung. Jika diingat dari pertemuan mereka, Ara selalu melakukan hal yang sama. Namun, usai melakukan kesalahan itu, Ara selalu meminta maaf dan mengakui bahwa itu adalah salahnya. Gadis itu ramah dan sifat sesederhana itu mampu mencuri hati Jinyoung.

Jinyoung memangku dagu sambil tersenyum dan melayangkan pandangannya asal. "Kurasa tidak butuh waktu lama, aku sudah tahu kalau dia orang yang pantas untuk diberikan perlindungan lebih."

"Hanya karena gadis itu ceroboh? Kau itu sok tahu. Kau baru bertemunya dua kali."

"Makanya aku meminta bantuanmu supaya bisa bertemu dengannya berkali-kali."

Jihoon berdeham. "Ya sudah iya. Kalau kau ingin bertemu gadis itu, kau bisa datang ke kelasku. Aku akan membantumu, tapi aku tidak bisa menjamin keputusan akhirnya dia akan menerimamu, ya."

"Yes!" pekik Jinyoung. Ia menepuk-nepuk pundak Jihoon. "Terima kasih, Hyung. Mulai hari ini aku berjanji untuk latihan lebih giat lagi."

"Bantuanku tidak ada hubungannya dengan latihan. Kau harus tetap latihan giat meski aku tidak membantu," kekeh Jihoon.

Usai mendengar penjelasan Jinyoung, lelaki berambut cokelat itu lebih dulu berdiri. Jihoon memencet tombol play pada pemutar musik. Ia berjalan menuju tengah ruangan dan melihat refleksi dirinya sejenak di kaca. Namun, pandangan Jihoon teralihkan saat melihat laki-laki berwajah kecil itu masih terdiam di tempatnya.

"Bae Jinyoung, kau sedang apa? Ayo latihan atau aku membatalkan niat baikku."

"A-andwae, Hyung!"

🔼🔽🔼

Daniel masih menikmati istirahatnya sebelum latihan kembali dimulai. Seseorang berjalan mendekat dan memberikan sebuah benda berwarna hitam. Benda itu mengeluarkan suara dan menampilkan foto seseorang yang dikenalnya.

"Ne?" Daniel bersuara usai menekan tombol berwarna hijau.

"Oppa, kau ada di mana? Sedang apa?" tanya seseorang dari ujung telepon.

Daniel berdecak. "Di mana lagi hmm ... sedang latihan, tentu saja."

"Oppa, bantu aku! Ini masalah serius."

Daniel menegakkan tubuhnya. Matanya terbuka lebar. "Wae? Wae? Kau ada di mana sekarang? Ya, Kang Youra, jangan buatku khawatir. Ada yang mengganggumu?"

"Teman Oppa yang menggangguku."

"Nugu?"

"Laki-laki bergingsul itu mengganggu rencanaku dengan Jihoon."

"Tunggu ... Youra, kau bilang ini masalah serius dan ternyata hanya itu? Kau bahkan sampai menelepon saat aku sedang latihan?"

Terdengar suara tawa dari ujung telepon. Youra suka menertawakan hal kecil, termasuk jika ia berhasil membuat kakaknya khawatir.

"Iya supaya kau mau mendengar omongan di telepon dan tidak langsung menutupnya. Aku memang harus memancingmu."

"Aish, jinjja Kang Youra." Daniel refleks menggeleng dan memegangi kepalanya.

Kang Youra adalah adik Daniel. Adik yang sangat disayanginya. Mereka hanya dua bersaudara, makanya tidak jarang kalau keduanya saling bercerita tentang hidupnya masing-masing. Termasuk hal ini. Daniel tahu kalau Youra menyukai Jihoon dan ia juga tahu kalau Youra selalu meminta bantuannya untuk bisa lebih dekat dengan Jihoon.

Daniel tidak pernah menolak. Bagi laki-laki bermarga Kang itu, bahagia Youra adalah bahagianya juga. Namun, Daniel juga tahu kalau Jihoon bukan orang yang mudah dipaksakan, juga bukan tipe orang yang mudah tertarik.

"Lalu sekarang apa lagi?" tanya Daniel sembari beranjak dan melirik ke arah Jihoon yang sedang menari, berdua dengan Jinyoung.

"Aku punya dua tiket nonton untukku dan Jihoon. Aku sudah mengajaknya kemarin, tapi rencanaku benar-benar diganggu oleh Woojin. Bisakah kau mengatur waktu supaya aku dan Jihoon bisa jalan berdua, Oppa?"

"Hmm .... Kalau Jihoon memang tidak mau, biar tiket itu untukku saja. Sudah lama, 'kan, kita tidak menikmati waktu berdua?"

"Aku sudah bersama Oppa selama bertahun-tahun, bosan ah. Mau yang baru, mau Jihoon."

Daniel berdecak kesal, tapi selang beberapa detik kemudian ia tertawa. "Menyebalkan kau ini. Ya sudah nanti biar Oppa bicara dengan Jihoon."

"Yay! Neomu saranghae, Oppa!"

The Memory of Us | PJH; BJY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang