28. It's Better To Be Honest

23 7 0
                                    

Seorang gadis kuncir kuda memandangi gedung tinggi di hadapannya. Tangannya memegangi kedua tali tasnya erat, sedikit mengangkat benda yang menempel di punggungnya itu. Ia menarik napas panjang kemudian memaksakan diri untuk tersenyum.

Kakinya melangkah usai membiarkan pikiran-pikiran yang mengganggunya pergi. Ruangan yang ditujunya ada di lantai dua. Sepanjang ia melewati lorong, orang-orang hanya memperhatikannya. Atau mungkin hanya perasaannya saja?

"Ara Noona?"

Sebelum Ara menemukan di mana letak orang yang memanggilnya, ia sudah lebih dulu tahu siapa pemilik suara itu.

Bae Jinyoung. Tidak heran juga ia ada di sana karena biasanya memang anak itu selalu mendatangi kelas sahabatnya untuk mengisi waktu kosong. Lelaki itu berjalan menghampiri Ara. Tersenyum lebar melihatnya.

Ara tidak banyak bicara dan hanya melenggang menuju kursinya. Jinyoung terus bertanya hal macam-macam sembari berjalan di belakang Ara, mengikutinya. Namun, tidak ada satu pun yang ditanggapi oleh Ara.

Usai gadis itu duduk di kursinya, barulah ia bicara. "Jinyoung-ah, apa kabar?"

"Karena melihatmu ada di sini, aku jadi lebih baik!" tanggap Jinyoung dengan semangat.

Dari belakang, seseorang yang menahan tawanya segera ikut beranjak. Melangkah menuju dekat kursi Ara. Ia adalah Woojin.

"Senang kau kembali, Ara. Jinyoung hampir gila kehilangan kabar darimu," ledeknya.

Lelaki yang namanya baru disebut itu segera menoleh dan membulatkan matanya. Hanya beberapa detik saja sebelum akhirnya memilih untuk menunduk dan mengusap tengkuknya. Namun, ada yang mengganggu pandangan Jinyoung.

Bukan hal biasa melihat Jihoon tersenyum kala lelaki itu memandangi Ara. Bahkan Ara juga kelihatannya sesekali mengarahkan matanya ke Jihoon.

"Hmm ... Ara," panggil seseorang. Gadis yang beberapa hari lalu berulah, sekarang muncul lagi di hadapan Ara.

"Mau apa?" tanya Woojin dengan tatapan tajamnya. Jinyoung dan Jihoon juga refleks melihat ke arah Youra, kecuali Ara.

"Aku mau minta maaf," balas Youra. Perlahan, Ara mengangkat kepalanya.

Youra meletakkan tangannya di punggung tangan milik Ara. "Aku keterlaluan, ya?"

"Sepertinya kau tahu sendiri jawabannya," timpal Jihoon. Lelaki itu kelihatannya sejak tadi memang tidak ingin ikut campur menyambut Ara yang sudah kembali masuk ke sekolah. Namun, untuk masalah ini, rasanya Jihoon harus ikut andil.

"Jujur saja, aku iri melihatmu," lanjut Youra.

Ara menghela napas. "Kalau kau sudah tahu bagaimana aku di masa lalu, harusnya tidak perlu merasa iri."

"Masalahnya adalah kau dekat dengan seseorang yang kusuka. Jihoon."

Tanpa gadis itu beri tahu, harusnya Ara bisa mengerti dari sikap yang selalu ditunjukkan oleh Youra. Youra jelas-jelas menyukai Jihoon, tapi mendengar pengakuannya secara langsung ternyata lebih menyakitkan.

"Aku sudah lama menyukainya. Menjatuhkan hatiku untuk yang kedua kalinya pada Jihoon. Kenyataannya---"

Seseorang berdecak. "Youra, jangan lagi. Kau bisa mengerti apa yang pernah kubilang padamu beberapa waktu lalu, bukan?"

Jihoon sebisa mungkin menghindari pembicaraan Youra tentang dirinya. Tepatnya, tentang ketertarikan gadis itu.

"Jadi kau menyukai Jihoon? Dan iri denganku hanya karena aku dekat dengannya?" Ara tertawa getir. "Kau iri dengan alasan yang salah."

"Tidak ada satupun dari diriku yang pantas dijadikan alasan untuk iri."

"Tapi itu sebelum aku sadar," ucap Youra sembari menepuk-nepuk punggung tangan Ara. "Aku sudah menyakiti hatimu dan tidak ada gunanya juga aku melakukan hal seperti itu. Hanya akan membuat Jihoon lebih tidak suka denganku."

Youra sengaja menyelipkan tawa di sela-sela pembicaraannya. Dari raut wajahnya, Ara juga tahu kalau tawa Youra hanya pura-pura.

"Aku mau jadi temanmu saja. Mulai sekarang." Youra beralih mengulurkan tangannya. "Bagaimana?"

"Kau ... sungguhan?"

"Apa wajahku menunjukkan kalau sedang berbohong?" Youra melebarkan senyumnya kemudian merangkul gadis yang ada di dekatnya. "Aku benar-benar sudah merelakan Jihoon dengan siapa pun yang membuatnya bahagia."

Tanpa sadar, Ara malah melayangkan tatapannya ke Jihoon. Lelaki yang duduk di belakangnya itu malah memalingkan wajah. Malu? Mungkin saja.

"Kalau begitu, kita berteman," balas Ara sambil tersenyum.

Satu lagi masalah yang dikhawatirkan Ara bisa teratasi. Perlahan-lahan, keadaan mulai membaik dan Ara merasa lebih tenang.

"Kalau begini, semua kan jadi lebih baik," timbrung Woojin sembari bertepuk tangan asal. "Tinggal Jihoon dan Jinyoung saja."

"Kenapa?" tanya dua lelaki itu secara bersamaan.

"Siapa yang berhasil mendapatkan hati Ara."

Jihoon membelalakkan matanya. "Aku? Yang benar saja? Jinyoung itu."

"Mulut bisa berkata lain, tapi tidak dengan matamu," balas Woojin sembari tertawa.

Belum lagi Jihoon membalas tebakan asal Woojin, dirinya sudah lebih dulu ditarik oleh Jinyoung. Anak itu membawa Jihoon keluar dari kelas.

"Hyung, benar?" tanyanya.

Jihoon tidak mengerti maksud dari pertanyaan Jinyoung. Bahkan alasan kenapa secara tiba-tiba ia dibawa ke sini pun tidak tahu.

"Tentang kau dan noona?"

Jihoon mulai paham ke mana arah pembicaraan Jinyoung. Lantas, lelaki itu tertawa. "Mana mungkin. Aku sudah pernah bilang padamu, kan? Aku tidak menyukai Ara, bahkan aku juga mu membantumu mendapatkannya."

"Sudah Hyung jujur saja. Kalau bukan begitu, untuk apa kemarin kau buru-buru pulang setelah latihan dan segera pergi ke stasiun? Kau pergi ke Busan, bukan?"

The Memory of Us | PJH; BJY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang