09. Let Me Know You

98 20 66
                                    

Kim Ara melahap suapan terakhirnya. Gadis itu menggigit sendoknya sebelum dikeluarkan dari dalam mulut kemudian melirik ke depan dan kanan. Gerakannya melambat.

"Kenapa kalian melihatku seperti itu?" tanya Ara heran kemudian beralih memperhatikan dirinya.

Woojin menggeleng kemudian menyeruput minumannya, sementara Daehwi justru terkekeh.

"Noona, kau biasa makan selambat ini?" Lelaki itu menunjuk piring di hadapan Ara.

"Ah, maaf." Ara cepat-cepat meletakkan sendoknya kemudian menunduk berulang kali. "Aku mengganggu waktu kalian, ya?"

"Tidak apa-apa, Noona." Jinyoung mengambil alih pembicaraan. "Waktu istirahat masih cukup lama, pergunakan waktumu dengan baik."

"Dan ... aku ingin mengambil minum. Ada yang mau kuambilkan juga?"

Daehwi mengangkat tangannya tinggi-tinggi, diikuti pula dengan Jihoon. Lantas, Jinyoung mengangguk dan beranjak dari kursinya. "Ara Noona, aku juga akan mengambilkan minum untukmu. Kau tunggu saja di sini, ya."

Jinyoung tersenyum sesaat sebelum berlalu dari hadapan Ara. Memang seharusnya ia cepat-cepat menjauh dari Ara sebelum gadis itu menangkap gerak-gerik aneh yang ditunjukkan oleh Jinyoung alias salah tingkah.

Ara masih memperhatikan Jinyoung dari belakang, sedangkan ketiga laki-laki yang tersisa di sana hanya saling tukar pandang dan tersenyum. Apa lagi kalau bukan karena tingkah Jinyoung yang kentara sedang mencari perhatian dari Ara meski sebenarnya juga tidak tahu apakah gadis itu menyadarinya atau tidak.

Woojin menggeser gelas miliknya karena isi di dalamnya sudah ia teguk habis. Sempat menarik salah satu ujung bibirnya ke atas kemudian melirik Ara.

"Anak itu tergila-gila kepadamu, Kim Ara."

Gadis itu refleks mengalihkan pandangannya dari Jinyoung dan kini menatap seseorang yang baru saja berbicara dengannya. Matanya membulat dan ia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa?

Faktanya, ini adalah kali pertama Ara mendengar hal semacam itu. Seseorang menyukainya. Sejak dulu, mana ada yang pernah begitu. Dirinya di masa lalu begitu buruk sampai tidak ada laki-laki yang mau berada di dekatnya, kecuali untuk mengejek. Masa-masa itu menyedihkan memang.

Namun, sebuah senyuman jelas terulas di wajah satu-satunya perempuan yang ada di meja itu. Ternyata niatnya untuk berubah benar-benar berbuah baik. Selain tidak ada lagi---sampai saat ini---orang yang mengejeknya seperti dulu, orang-orang kini menyukai keberadaannya. Satu pencapaian yang patut Ara banggakan.

"Maaf, apa yang kau bilang tadi?" tanya Ara.

"Jinyoung hyung sepertinya suka padamu, Noona," timpal Daehwi. "Kau tahu? Telingaku sampai pengang mendengarnya tiap saat membicarakn tentangmu."

Ara hanya mengangguk-angguk dan terkekeh.

"Tapi kau pura-pura tidak tahu saja di depannya," pinta Woojin. "Anak itu mudah malu."

"Ah ... geurae."

Entah mengapa, Ara menoleh ke arah Jihoon. Laki-laki itu sedang fokus dengan ponselnya saja, tidak menanggapi satu pun kalimat yang terucap oleh Woojin dan Daehwi mengenai Jinyoung. Mungkin ia tidak pernah tertarik hal semacam itu atau ada alasan lain?

Bersamaan dengan itu, Jihoon mengangkat pandangannya sedikit dari ponsel. Cepat-cepat Ara membuang muka dan asal memangku dagu.

Sejak dulu Jihoon tidak pernah berubah. Sikapnya cuek dan ... lagi-lagi aku tidak pernah sanggup bahkan sedetik saja berpandangan langsung dengan matanya. Ara merutuk di dalam hatinya.

🔼🔽🔼

Tentang Jinyoung, lelaki itu benar-benar menunjukkan perhatiannya kepada Ara. Mulai dari di kantin, sampai ia ikut mengantar Ara ke kelasnya---tentu saja juga ditemani oleh Daehwi.

Jinyoung merasa lebih leluasa berkenalan dengan Ara setelah Jihoon membawa gadis itu ke hadapannya, meski masih berstatus sebagai seorang teman. Namun, Jinyoung mau berusaha menaikkan status tersebut menjadi pacar.

"Jadi, rasanya seperti ini, ya?" Ara bergumam kemudian menghela napas dan tersenyum tipis. Tangannya bergerak merapikan alat tulis yang masih berserakan di atas meja.

"Seperti apa?" sambung seseorang dari belakangnya yang berjalan hingga sampai di sebelah gadis itu.

Itu Jihoon. Jam pelajaran hari ini berakhir. Anak-anak yang lain juga sudah pulang. Jihoon sudah bilang ke Woojin kalau dia akan pulang terlambat dan sahabatnya telah lebih dulu meninggalkan kelas.

Seperti apa yang dibilangnya tadi pagi, ia ingin mengajak Ara jalan sepulang sekolah dan Ara menyanggupinya. Upaya mendekatkan diri dengan teman, tidak ada salahnya.

Keduanya berjalan menyusuri kota Seoul yang sedang dibaluti dengan embusan angin sejuk. Mereka tidak banyak berinteraksi ... atau lebih tepatnya tidak ada yang mau memulai?

Jihoon masih menunduk, tapi ia memustuskan untuk memulai topik pembicaraan.

"Kau ini murid pindahan, 'kan? Memang sebelumnya kau tinggal di mana?"

"Aku? Hmm ... Busan."

Laki-laki itu menoleh. "Sungguh? Beberapa waktu lalu aku juga sempat tinggal di Busan, tapi sudah lama pindah ke Seoul."

Ara hanya mengangguk. "Sejak kecil aku memang lahir di Busan, tapi terpaksa pindah ke Seoul mengikuti appa."

"Dulu kau sekolah di mana? Atau jangan-jangan kita sempat satu sekolah?" Tiba-tiba saja Jihoon menjadi semangat bertanya. "Kurasa aku tidak asing denganmu, tapi aku tidak bisa ingat pernah bertemu denganmu di mana sebelumnya."

Kini, Ara melayangkan tatapannya ke arah Jihoon, tapi tentu saja tidak benar-benar menatap matanya. "Apa iya?"

Jihoon mengangguk mantap. "Tapi ya sudahlah tidak usah dipikirkan," lanjutnya diiringi tawa. "Kita pergi ke taman dekat sini saja, bagaimana?"

"Boleh," tanggap Ara. "Sebenarnya aku mau tanya ini sejak tadi ... hmm ... apa seorang idol sepertimu tidak masalah berjalan seperti ini? Maksudku tanpa menutupi identitasmu."

Laki-laki di sampingnya malah tertawa. "Kau mengenalku sebagai seorang idol ternyata? Kupikir tidak."

Terpaksa, Ara pun ikut tertawa kecil meski ia tidak tahu apa ada hal lucu yang dibicarakannya tadi. "Karena sahabatku pernah mengatakan itu ketika bertemu Jinyoung dan akhirnya aku mencari tahu sedikit tentang kalian."

"Kalau kau mau mengenalku lebih banyak juga tidak apa-apa. Tentang pertanyaanmu tadi, justru kalau aku terlalu menutup diriku aka menjadi jelas di mata mereka jika aku adalah seorang idol. Makanya aku lebih nyaman seperti ini."

Jihoon mengangkat kedua tangannya dan melipatnya di belakang kepala. Samar-samar, Ara melihat lelaki itu tersenyum.

Aku benci Jihoon saat tersenyum. Ayolah, Ara, jangan jatuh cinta lagi dengan Park Jihoon. Apa kau tidak ingat apa yang harusnya kau lakukan, huh?

The Memory of Us | PJH; BJY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang