The Blood

103 19 3
                                    


"AAAHHHHH!!!"

Mataku nyaris terlepas dari tempatnya ketika melihat pesan penjaga kampus beberapa detik yang lalu. Kalau saja aku tidak ingat diri, pasti sudah kulempar benda persegi panjang berwarna hitam dengan gambar apel yang telah tergigit sepotong di belakang milikku ini.

Seluruh perhatianku tersedot oleh kilatan putih yang tiba tiba berada di penglihatanku.

'F401'

Aku masih ingat betul ruang ini. Ruang kelas di ujung lorong lantai lima tempatku berburu bendera semalam. Tapi, kenapa aku berada disini? Memangnya, ada apa dengan ruangan ini?

Belum sempat menggenapkan langkah memasuki ruangan itu, eksistensiku malah kembali berada dalam sebuah ruangan lain dengan lampu menyala terang dengan desas desus yang santer terdengar. Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya sadar, aku kembali di ruang kelas terakhir kali.

"Ada apa sih, sampai teriak sebegitu kencangnya?" Kisa, sahabat seperjuanganku berbisik lembut sambil memasang tatapan menyelidik menghadap tepat ke arahku.

"Aku? Berteriak?" jawabku kaget. Oh, ayolah, bagaimana bisa aku dengan tiba tiba berteriak lantang tanpa adanya hujan ataupun angin, Kecuali kalau yah, aku sudah tidak waras.

Kuacuhkan Kisa yang pandangannya semakin tidak lepas padaku dan menatap intens tiap manik mataku. Kubiarkan saja dia toh juga lama-lama akan bosan mengamati wajahku ini.

Kuraih ponsel yang tergeletak tak berdaya diatas meja di depanku. Baru saja kubuka lockscreen bertampang kekasih sehidup sematiku, katie, si kucing peliharaanku, aku sudah terlonjak kaget, mengumpat dengan lantang hingga menarik perhatian yang lain.

"Anjir!"

Seluruh atensi penghuni kelas kini beralih padaku. Mulai dari pandangan penasaran hingga pandangan terganggu--karena teriakanku--lengkap menghadap padaku. Beruntung Pak Darsono sudah keluar, jadi aku tidak begitu malu telah berteriak semacam orang gila di tengah siang bolong begini. Meskipun ya, teriakku memiliki alasan.

"Ada apa sih, yan?" tanya Ares malas sambil mencabut kedua kabel headshet yang menempel di telinganya sembari datang ke arahku, kedua matanya menyala isyarat ia terganggu akan teriakanku.

"Kenapa yan? Ada apa? Jangan diam aja lah! Kamu ga lagi kebelet pup kan?" cerocos Milly sambil memasang wajah khawatir khas emak emak rempong.

"Eng, anu,"

"Jangan ambigu deh, buruan ngomong sebelum kita mati penasaran!" ucap Gia dengan tampang penasaran menggebu-gebu.

"Jadi..."

"Hah? Serius kamu? Masa iya ada mahasiswi meninggal di kampus kita sih? Ga banget deh!" sergah Milly.

"Aku juga gak tahu, Mil. Aku belum pastikan dengan mata kepala aku sendiri. Tapi kurasa ini benar, lagipula kenapa bisa tukang penjaga sekolah boongin aku?" jelasku dengan nada sedikit goyang di akhir. Aku benci menjadi pusat perhatian dengan segala tatapan menuduh seperti ini. Seakan-akan aku adalah pembohong kelas kakap yang sedang tersidang.

Ares sedikit memiringkan bangkunya dan tanpa permisi merebut ponsel yang bertengger lemah di telapak tangan sebelah kananku. Dan dapat kulihat, matanya sedikit membola walaupun dahinya mengernyit.

"Lian tidak membual, pesan penjaga dan mahasiswi itu benar." Final Ares dengan pandangan yang terlihat kebingungan.

Milly yang masih tidak percaya merebut ponselku dari tangan Ares, dan terus begitu sampai gumaman rasa skeptis berbaur dengan pekikan pemekak telinga.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang