Scapegoat

48 6 0
                                    

Sempat kuragukan, agaknya kini aku merasa perkataan Milly ada benarnya juga. Intuisiku mengatakan jika benar jika semua peristiwa —Halloween, aku yang tak sadarkan diri, hingga kematian salah satu panitia yang tidak diketahui penyebabnya— terjadi secara kebetulan. Melihat Milly di depan kelas kemarin dengan perasaan menggebu-gebu mengatakan semua hal yang dia tahu, membuatku memilih untuk mempercayainya. Lagipula, tidak ada ruginya bagiku untuk mempercayainya, ya kan?

Sempat ragu, akhirnya kuyakinkan diriku sendiri untuk dapat berbicara dua mata saja dengan Milly. Sore ini taman tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari jumlahnya yang entah sekadar berduduk manis menatap sekumpulan tumbuhan berwarna hijau penyejuk mata atau malah tertidur pulas di atas sekawanan rumput di dekat air mancur.

"Lian, kamu mendengarkanku dengan baik, kan?"

Ah, iya, Milly. Baru kuingat dia tadi memintaku untuk menjauh dari Kisa demi menjawab satu pertanyaan yang akan dia lontarkan mungkin, setelah ini.

"Huh, iya?" Memasang wajah sepolos mungkin, aku berlagak seolah tidak mengerti apa yang sedang dia ucapkan barusan, padahal kan, memang akunya saja yang tidak mendengarkan.

"Susah emang ngomong sama anak yang suka ngelamun," sentaknya pongah, namun tetap berbaik hati menjelaskan lagi maksud pertanyaan yang dia beri padaku setelah satu helaan napas panjang keluar dari mulutnya.

"Lian, kamu percaya ngga, kalau empat itu angka kematian?"

kematian?

"Tunggu, Milly. Apa maksud ucapanmu?" Pertanyaan yang dia ajukan sangat amat tidak menggambarkan seorang Milly sama sekali. Milly hampir tidak pernah bisa diajak serius, sikapnya slengekan dan dia paling benci engan hal yang berbau mistis, tidak sama sekali. tetapi sekarang? jika kudeskripsikan, dia sedang berdiri tegap tepat di depanku, dadanya membusung, tangannya terkulai dikedua sisi pinggangnya dan Oh! jangan lupakan tatapan lurusnya yang seperti laser ingin mengulitiku sesegera mungkin.

"Aku serius, Lian. Kamu percaya apa nggak?"
Hi

'Kalopsia'

Haruskah ku tanyakan pada Lian sekarang? Haruskah aku hanya akan menyimpannya sendiri? Atau, apakah lebih baik bagiku jika menanyakannya pada Lian di depan kelas bersama anak-anak besok? Ah, tetapi jika seperti itu caranya Lian mungkin tidak akan mau berkompromi untuk berkata jujur. Eh, tetapi kan Lian juga terlalu tidak mungkin melakukan hal-hal semacam yang Dhika sebutkan tadi? Duh, pusing deh kepala Milly!

Menepis semua pertanyaan yang makin banyak bermunculan di otakku, kuyakinkan diriku sendiri agar melakukan apa yang harus dilakukan. Ibarat kata pepatah, "Sekarang atau tidak sama sekali."

"Jadi gini, aku tadi pas beres kuliah kan nggak langsung pulang, tetapi mampir dulu di rumah kumbang. Nah, kebetulan sekali aku baru mau pulang jam satuan gitu. Terus, pas aku pulang kan aku ngelewatin rumah sastra, Nah di sana lagi pada rame gitu bahas tentang evaluasi event Halloween minggu lalu" Ucapku panjang lebar.

"Karena aku penasaran sama hasil evaluasinya, jadilah aku ngedengerin sedikit apa yang sedang mereka bahas. Kamu tahu Dhika kan? dia mengucapkan sesuatu yang membuatku terkejut setengah mati. aku sampai bingung harus berkata apa untuk menjelaskannya."

"Dhika? kakak panitia yang bagian keliling ngawasin itu?" Tanya Lian dan kujawab dengan sebuah anggukan pasti.

"Sebelum aku lanjutin, kamu janji dulu ke aku ya, nggak bakalan marah?" Kulihat dia menatapku serius, kedua kepalanya perlahan mengangguk, sambil berkata "Iya aku janji"

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang