✨3✨

81 31 12
                                    

Happy reading!

✨✨✨


Pas sekali ketika mereka sampai, daftar pembagian kelas baru saja selesai ditempel. Kebanyakan murid langsung mengerubungi mading. Bahkan rela mengantri sampai mencuri-curi kesempatan untuk menerobos agar cepat-cepat mengetahui kelas barunya.

"Yah Cit, kita ga sekelas lagi," keluh Nadira. Nadira ingin sekali kembali satu kelas bersama Citra. Nadira takut nantinya tidak memiliki teman lantaran dirinya hanya mempunyai sedikit kenalan, berbeda dengan Citra.

"Yaudah si gimana lagi." Citra hanya bisa pasrah. Sejujurnya, jika ada pilihan untuk tetap bersama atau berpisah, tentunya Citra akan memiliki opsi pertama. Dirinya ingin berada di satu kelas yang sama dengan Nadira.

"Ya gue takut aja gitu ga punya temen nanti."

"Apaan si nanti juga lo ada temennya. Lagian kelas kita juga tetanggaan kan?"

Memang Nadira dan Citra berbeda kelas tetapi kelasnya berdekatan. Nadira ditempatkan di kelas XI IPA 2 sedangkan Citra di kelas XI IPA 3. Penentuan kelas ini tidak didasarkan atas kepintaran melainkan hanya mengacak daftar siswa yang ada.

"Iya sih tapi kan ga seru kalo gaada lo."

"Gue tau gue orangnya seru. Udah ah yuk ke kelas."

Mereka berjalan beriringan menuju kelas mereka. Citra sudah lebih dulu masuk ke ruang kelas barunya. Nadira tinggal berjalan sebentar untuk sampai ke kelasnya yang tidak jauh dari kelas Citra.

"Huft.. beneran gue ga kenal siapa-siapa disini. Gue duduk sama siapa?" gumam Nadira. Tak lama dia masuk. Dia duduk di baris kedua deretan tengah.

Seseorang perempuan masuk kemudian duduk di bangku depan Nadira. Mengapa tidak duduk di samping Nadira saja? Bangku yang diduduki tadi lah yang cukup dekat dengan pintu. Jika dia duduk di samping Nadira, dia harus berjalan memutar atau menyuruh Nadira bergeser. Namun, dia tidak mau melakukannya dan jadilah dia duduk di bangku depan Nadira.

"Hai," sapa perempuan itu.

"Eh-hai juga," Nadira membalas sapaan perempuan itu. Sedikit canggung pada awalnya. Mereka belum saling mengenal dan mungkin sekarang lah saatnya berkenalan.

"Nama gue Adel. Mikayla Adelia Cryssa. Nama lo siapa?" Adel memajukan tangannya di depan Nadira pertanda ingin sekedar bersalaman. Nadira membalasnya. Adel tersenyum tipis begitupun dengan Nadira.

"Nadira. Nadira Alleysa Qinara." Nadira memperkenalkan dirinya. Menyebutkan nama panggilan juga nama lengkapnya.

"Nadira, nama lo bagus," puji Adel.

"Ah nama lo juga kok Del." Nadira tersenyum kembali.

"Lo mau ga jadi temen gue?" Seperti yang diduga Nadira, Adel benar-benar ramah.

"Mau lah," ucap Nadira.

"Kita sekarang temenan nih?" tanya Adel meminta kepastian meskipun dia sudah tahu jawaban Nadira akan seperti apa.

"Iya dong."

Tanpa disadari seluruh bangku sudah hampir terisi penuh. Tinggal kursi di samping Nadira dan Adel yang masih kosong. Bangku itu yang belum ditempati. Dipastikan itu akan ditempati laki-laki. Karena jumlah laki-laki XI IPA 2 yang ada di daftar pembagian kelas tadi adalah 14. Sekarang baru 12 siswa laki-laki yang masuk. Sekitar lima menit, dua siswa laki-laki mendatangi bangku mereka, Kean dan Rio.

Kean duduk di samping Nadira karena tidak suka duduk di bangku paling depan. Rio duduk di bangku yang sama dengan Adel. Rio biasa saja duduk di bangku paling depan, menurutnya bangku depan atau belakang sama saja. Sama-sama untuk diduduki bukan untuk tempat memasak.

Ada guru cantik yang diduga sebagai wali kelas XI IPA 2. Nafara Ningrum, begitulah bacaan di yang tertera di name tag-nya.

"Selamat pagi. Perkenalkan nama saya Nafara Ningrum. Kalian bisa panggil saya, Bu Nafa. Saya akan menjadi wali kelas kalian selama kelas sebelas ini. Saya juga akan mengajar matematika di kelas ini." Guru muda itu memperkenalkan dirinya dengan suara yang jelas dan semua murid di kelas itu mendengarkannya dengan baik.

"Kalo panggil sayang boleh ga bu?" tanya Dimas sedikit menggoda guru cantik itu.

"Ga boleh. Ada ada saja kamu ini. Tapi boleh kalo kamu bisa dapet nilai seratus di setiap ulangan yang saya berikan." Bu Nafa memberikan tantangan. Sudah dipastikan susah sekali mendapatkan nilai 100 untuk setiap ulangan, terlebih matematika.

"Duh Bu. Itu mah berat. Saya ga akan kuat," ujar Dimas.

"Dilan mode on," gumam Arya.

Suasana kelas menjadi ricuh dan ramai akan suara tawa. Tak terkecuali Bu Nafa, meskipun hanya tertawa pelan.

"Sudah-sudah itu saja yang ingin saya sampaikan. Saya ada urusan. Untuk struktur kelas kalian bisa diskusikan sendiri kan? Saya tahu kalian bisa kan udah kelas sebelas."

Hening. Tidak ada tanggapan. Bu Nafa kembali bertanya, "Bisa tidak?"

"Bisa Bu," jawab seluruh murid kelas itu dengan kompak.

"Kalau ada hal penting yang perlu ditanyakan bisa temui saya di ruang guru. Terimakasih. Ibu percayakan semua pada kalian, oke?"

"Oke Bu."

Bu Nafa pun pergi meninggalkan kelas itu. Mereka mulai membuat struktur kelas. Untuk yang pertama dimulai dari pemilihan ketua kelas. Tidak ada yang mau jadilah penunjukkan satu sama lain sampai akhirnya ada yang mengalah, Rama.

Rama mau menjadi kelas dengan syarat dialah yang memilih semua pengurus yang lain. Semua sudah dipilih dan dituliskan ke papan tulis. Kean tidak terima dirinya terpilih dalam pengurus kelas yang merupakan hasil acakan dari ketua kelas baru itu. Kean terpilih menjadi bendahara. Yang benar saja, uangnya sendiri sering hilang, bagaimana nanti? Sekeras apapun Kean memprotes, itu tidak akan mengubah keputusan.

"Guys, kita buat grup kelas ya. Setor nomor WA kalian ke gue." Semua memberikan nomornya pada Adel untuk dimasukkan dalam grup kelas. Baru saja Adel mendapat informasi bahwa sebulan lagi akan diadakan berbagai macam kegiatan untuk memeriahkan hari ulang tahun sekolah mereka. Setiap kelas harus menampilkan pertunjukan di acara itu. Adel langsung memberitahukan kepada teman-teman. Informasi umum sudah dia share ke grup kelas.

"Kita mau nampilin apa?" tanya Adel. Jawaban dominan adalah menyanyi, menari, dan puisi.

"Drama." Yang ini adalah usulan dari Rio.

"Hidup lo udah banyak drama, Yo. Masih mau nampilin drama?" Siapa lagi yang berani mengatakan ini. Hanya Kean, sahabat Rio yang memang sudah sangat dekat. Rio tidak akan marah hanya dengan perkataan Kean barusan. Kean tahu betul bagaimana Rio.

"Emang salah?"

"Bagus juga si, drama," ucap Shania. Ternyata, banyak yang menyetujui pendapat Rio.

"Drama apa tapi?" tanya Vira.

"Putri Salju," celetuk Ardi asal yang juga disetujui kebanyakan teman-temannya.

✨✨✨

To be continue

Terima kasih sudah membaca

See you

--temanrlmu--

Keanadira [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang