CHAPTERS 10

136 9 0
                                    

"Karena kenangan tak akan pernah hilang sepenuhnya, namun suatu saat pasti akan muncul potongan - potongan kenangan itu."
.
.
.
.

hari telah berlalu, kondisi Diana saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya, tak berbeda jauh tapi setidaknya ia sudah bisa mengontrol sedikit emosinya.

Kondisi Diana yang belum pulih sepenuhnya berakibat ia harus menginap beberapa hari di rumah sakit, mama dan Mentari selalu menemani Diana terkadang adiknya juga berkunjung.

Sekedar informasi kenapa cuman Mentari yang nemenin Diana, itu karena si Shinta lagi sibuk dan katanya sih ntar sore baru jenguk.

"Sayang, gimana udah baikan?" Setiap pagi mama selalu menanyakan kondisiku, rasa penyesalan sedikit membuatku tak enak pada mama.

"I'm fine mom, mama mau kerja? Hari Minggu begini?" Melihat mamanya yang sudah terlihat rapi di hari Minggu membuat Diana bertanya - tanya, tumben sekali.

"Ah ini? Mama ada rapat untuk perusahaan papamu jadi mama ga bisa nemenin kamu, maaf ya, katanya nanti Mentari juga kesini, baik - baik ya sayang" mama mencium keningku dan tak lupa memberikan senyumannya yang begitu manis dan hangat, ah sayang sebaik apapun mama menyembunyikannya tetap terlihat raut kekhawatirannya.

"Siap kapten! Hati - hati di jalan mom" akupun juga tersenyum tak kalah hangatnya, setidaknya dengan tersenyum dapat menyemangatinya."

Huh ruangan ini tak jauh berbeda dengan diriku, sepi, kosong, hampa. Batin Diana.

"Baiklah Diana kau harus bangkit, harus" selang beberapa menit Mentari pun datang, ah setidaknya ruangan ini akan lebih sedikit berwarna, aku sungguh iri.

"Yak! Cepatlah pulih! Ayo kita sekolah!" Benar bukan sedikit berwarna hm sepertinya aku harus meralat kata sedikit menjadi banyak hahaha.

"Mamamu kemana? Padahal aku merindukannya, tumben sekali masih pagi sudah tidak ada eum?."

"Ahh mama? Ada rapat katanya, dan kenapa kau merindukan mamaku coba, aneh - aneh saja" Diana memandang Mentari aneh sambil menggeleng - gelengkan kepalanya.

"Eh? Kau cemburu ya hahaha lucu sekali."

Cemburu? Apa aku masih berhak cemburu? Dia bukan siapa - siapaku lagi sekarang, batin Diana.

Mentari yang baru sadar mengucapkan kata - kata terlarang pun jadi gelagapan sendiri apa lagi melihat raut wajah Diana berubah jadi sedih membuat Mentari tambah khawatir, yeah memang akhir - akhir ini perasaan Diana menjadi lebih sensitif maka dari itu semua orang harus lebih hati - hati saat berbicara pada Diana.

"Ehh.. Mmm, bagaimana keadaanmu? Mau hmm berjalan - jalan keluar? Udara sedang bagus saat ini" Mentari buru - buru mencari topik baru agar Diana segera melupakan perkataannya tadi.

"Boleh, melihat ruangan putih selama 2 hari cukup membuatku bosan juga."

Saat ini keduanya sedang berjalan - jalan di taman rumah sakit, tak sedikit pasien yang berada di taman ini, memang taman ini sudah dirancang sedemikian rupa agar para pasien nyaman dengan suasananya.

"Hey! lihat! ada tempat duduk, ayo duduk di sana, dan wow! Pemandangannya juga bagus."

Diana hanya mengikuti arah jalan sahabatnya ini, jujur saja perasaan Diana jadi tak karuan sedari tadi.

Setelah keduanya duduk di taman suasana canggung mulai menguar. Tak ada suara yang terdengar dari keduanya, yang terdengar hanyalah perbincangan ringan pasien rumah sakit lainnya yang juga berada di taman tersebut.

Diana yang masih kalud dengan perasaannya masih tetap bungkam, tak beda, Mentari hanya bisa terdiam melihat sahabatnya yang bisa dikatakan hampir gila. Tidak, Mentari tak ingin itu terjadi, ia tak ingin berlarut - larut, hanya dia penyemangat Diana saat ini, jika ia ikut sedih bagaimana ia bisa menyemangati Diana untuk sembuh.

Musuh jadi Cinta ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang