3

9.8K 438 10
                                    

Bayu, kepala sekolah Insan Gemilang sekaligus tunangan Fahira, menjemput guru wali kelas satu itu di ruang guru. Kontan teman-teman wanitanya melakukan aksi canda di ruangan yang dipenuhi meja-meja kerja mereka.

“Ayank, tuh. Ehem-ehem, nih,” bisik guru berhijab dongker.

“Kepo,” ledek Fahira sambil berlalu meninggalkan guru yang memajukan sedikit bibirnya.

Seperti biasa, Bayu akan membawakan totebag calon istrinya. Keduanya lantas jalan bersisian di koridor yang menghubungkan ruang guru dan gerbang masuk gedung sekolah. Sesekali tertawa sambil menikmati sisa waktu di tengah kelelahan.

“Malam aku ke rumah, ya.”

Sesampainya di parkiran motor, Bayu menyampaikan kalimat yang membuat gadis di depannya menatap lekat, meminta kepastian. Pasalnya sudah berulang kali janji pria ini dibatalkan.

“Iya, mau dibuatin apa?”

Setelah Bayu mengangguk barulah Fahira bernapas lega.

Sebelum menjawab, pria yang tingginya dua puluh senti di atas Fahira tersenyum lebar. “Kopi cinta sama kue sayang.” Candaan Bayu berhasil membuat pipi tunangannya merona. Kekesalannya seketika hilang entah ke mana. Fahira cepat-cepat melajukan motor sebelum ketahuan jantungnya berdebar lebih kencang. Rayuan pria itu selalu dan selalu mampu membuat melayang-layang.

Sesampainya di rumah, Fahira langsung masuk kamar. Pekerjaan yang cukup banyak, membuat raganya lelah seharian. Selepas membersihkan diri, gadis itu langsung merebahkan diri di atas kasur bersprei merah muda dengan motif bunga krisan.

“Fa, Mama masuk, ya.”

Baru saja raganya sedikit rileks, pintu coklat kemerahan itu terbuka. Sosok wanita berparas ayu menghampiri dengan membawa teh yang masih mengepulkan uapnya.

“Makasih, Ma.” Fahira mengambil cangkir bening dengan motif stroberi dari tangan wanita berambut sebahu itu. Mama lantas duduk di sisi kiri ranjang.

“Bayu kapan ke sini? Udah sebulan gak dateng.”

Fahira menghentikan aktifitas minum tehnya. Menoleh pada wanita yang tengah ingin diyakinkan lebih.

“Malem ini, Ma.”

Sebisa mungkin suaranya dibuat tenang. Minuman hangat itu diletakkan di atas nakas dekat ranjang.

“Bener? Nanti gak jadi lagi.”

Fahira tak merespon. Percuma menjelaskan pada mama bahwa Bayu itu super sibuk. Selain menjadi kepala sekolah, juga mengelola usaha bengkel mobil yang cukup besar.

“Fa, bukan apa-apa. Diakan udah jadi tunangan kamu. Tiga bulan lagi kalian nikah. Harusnya lebih intens berkunjung agar lebih saling mengenal.”

Mama mulai melontarkan argumennya. Diraih jari-jari lentik gadis berusia dua puluh tujuh tahun itu.

“Di sekolah juga tiap hari ‘kan ketemu, Ma,” kilah Fa.

“Apa di sana kalian bisa ngobrol lama? Pastinya enggaklah. Kamu sibuk, dia apalagi,” cecar Mama.

Selanjutnya Fahira membiarkan mama bicara panjang lebar terkait banyak hal. Dia tahu kecerewetan wanita itu disebabkan kekhawatiran terulang kegagalan cintanya seperti di masa dulu.

Dia pun tahu betapa ingin mama melihatnya naik pelaminan. Wanita paruh baya itu begitu cemas dengan usia putrinya yang makin menanjak saja.

Ucapan mama harus terpotong kala ponselnya berdering nyaring. Cepat-cepat dikeluarkan dari tas kerja hitam di bagian paling depan. Bangkit dari ranjang untuk sedikit memberi jarak dengan mamanya.

‘Fa, maaf, Mas sepertinya gak bisa datang malam ini. Ponakanku tabrakan. Maaf, ya.’

Satu pernyataan Bayu mendadakmembuat lututnya lemas. Terbayang apa yang akan dikatakan mama terkait pembatalan janji untuk ke sekian kali.

Benar saja, kala disampaikan bahwa Bayu tak jadi datang mama kembali meradang. “Gak jodoh kali kamu sama Bayu. Ada aja halangannya. Ck!” Wanita itu segera menarik handle keemasan setelah melemparkan ucapan ketusnya.

“Mama kok ngomongnya gitu, sih.” Sanggahan Fahira tertahan di daun pintu yang sudah tertutup kembali.

Sekuat mungkin Fahira menahan emosi atas cecaran mama terkait Bayu. Dihela udara petang jelang senja untuk meminimalisir kesesakan.

Usai sholat Isya, Fa tak berniat makan malam. Enggan jika harus berdebat kembali di meja makan. Menarik selimut adalah pilihan lebih aman. Hanya saja niatan itu harus ditahan sebab kembali terdengar dering panggilan masuk di ponselnya.

Dengan malas, diraih juga ponsel keluaran terbaru hadiah dadakan dari sang tunangan.

“Ibu, ini aku Aslena. Maaf ganggu Ibu.”

“Oh, iya, Sayang ada apa?”

Fahira merubah posisi dari rebahan menjadi duduk bersila kala mendengar suara cempreng di ujung telpon. Cepat-cepat dikuasai kekagetan karena suprise ini.

“Apa boleh aku maen ke rumah ibu besok?”

Kekagetannya makin bertambah mendengar permintaan polos itu.

“Boleh, dong. Udah bilang belum ke Papa?” tanya Fahira untuk memastikan bahwa muridnya itu serius.

“Udah, Bu, kalau gak percaya Ibu bisa bicara sama papa.”

“Gak usah!”

Kalimat Fahira terpotong oleh dehaman di seberang telpon. Jantungnya tiba-tiba kehilangan irama.

“Maaf Ibu, kalau putri saya merepotkan.”

Suara berat seorang pria membuatnya harus menghela napas dulu sebelum menjawab perkataan barusan. Setelah berdeham, barulah bicara, “Tidak apa-apa Pak. Kalau Aslena mau main silakan. Saya hanya khawatir orang tuanya tidak tahu.”

Entah kenapa gadis berwajah oval itu gugup kali ini. Suara berat di seberang sana membuatnya risih sendiri.

Menit kemudian rekaman wajah pemilik suara berat itu melintas. Meski baru pertama kali bertemu, ia hapal sekali dengan raut tampannya.

Fahira kembali merebahkan diri, mencoba memejamkan mata, tetapi sia-sia. Mendadak pikirannya tertuju pada pria yang baru saja menelponnya.

Ia tahu Aslena sudah tak punya ibu. Itu artinya pria berjas mentereng itu adalah duda. Cepat-cepat ditepis bayangan itu. Ia pun mulai serius mengistirahatkan raga.

DUDA MENTERENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang