6

8.7K 373 9
                                    

Reynan memanfaatkan momen ini untuk berlama-lama bersama nona cantik. Meski risih, Fahira tak bisa juga mengusir pria itu dari sisinya. Bahkan sampai ke market pun terus diikuti. Gadis itu makin tak enak ketika seluruh belanjaannya dibayarkan dengan alasan sebagai tanda terima kasih.

Lepas belanja, sebelum Fahira mengucapkan kata pamit, Aslena mendahului bicara.

“Pah, aku mau maen itu!”

Aslena menarik tangan Reynan ke tempat permainan anak. Mau tidak mau Fahira mengikutinya.

“Sejak tantenya menikah, Aslena sering kesepian. Saya terlalu sibuk di kantor, “ ucap Reynan memecahkan kebisuan. Fahira menoleh pada pria yang sedang menatap lurus ke depan. Kali ini, binar itu meredup.

Selama menunggu Aslena bermain, Reynan dan Fahira duduk di tempat yang disediakan untuk pengunjung. Mereka berbagi bangku panjang yang teebuat dari besi. Sesekali melambaikan tangan pada putri kecil itu.

“Dulu Aslena sering bertanya kapan mama pulang? Pertanyaan itu lebih menyakitkan dari apapun karena saya tak pernah bisa menjawabnya.”

Reynan membalas tatapan Fahira, mencari sesuatu di manik kelam itu.

“Hari ini saya telah menemukan jawabannya ....”

Jantung Fahira hampir saja melompat. Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan. Dia menunduk dalam, jari-jari saling ditautkan.

“Papaaa, Ibuuu!”

Aslena menghambur ke arah sepasang insan yang sedang sibuk dengan debaran yang kian mengencang. Ia duduk menyelip di antara mereka. Menggoyangkan kaki dan melihat ke arah keduanya bergantian. Ia seperti sedang bersama papa dan mama. Tiba-tiba keinginan itu datang.

Kali ini Fahira benar-benar harus pulang sebelum sesuatu yang setia dijaga, ternoda. Hati-hati, ia menyampaikan argumen agar mudah dimengerti oleh Aslena.

Ketiganya jalan beriringan menuju parkiran. Jari Aslena menempel pada telapak tangan papa dan gurunya.
Tiba diparkiran, Fahira mengucapkan selamat tinggal pada keduanya. Ia membungkuk agar kepalanya sejajar wajah imut itu.

“Ibu nanti maen ke rumahku, ya?”

Gadis itu terdiam, lalu mengangguk di permintaan ketiga. Mereka kembali berpelukan. Dalam posisi ini, Fahira masih bisa menangkap senyum simpul dari pemilik dada bidang di depannya.

“Terima kasih untuk hari ini. Semoga ini bukan yang terakhir.”

Kata-kata itu serupa ketukan halus di pintu hatinya. Sebelum irama jantungnya berdentam segera saja ia undur diri.
Senyuman yang sulit lepas dari ingatan mengiringi langkah gadis itu. Sepertinya ia harus melipatgandakan kekuatan untuk tetap menjaga kesetiaan.

*

“Mas Bayu!”

Fahira tercengang mendapati mobil tunangannya terparkir di halaman rumah. Semenit kemudian seorang pemuda gagah berdiri menyambut di ambang pintu. Senyum yang selalu meluluhkan hati menghiasi bibir itu.

Pria itu menghampiri, membantu memarkirkan motor, membawakan kantung belanjaan Fahira.

“Mas kapan datang?”

Untuk menutupi kekagetan, Fahira berusaha bersikap biasa. Nada bicaranya ditekan sedemikian rupa.

“Baru aja, Say. Kalau bilang mau belanja bisa sekalian padahal.”

“Maaf gak bilang, Ini juga dadakan.”

Di ruang tamu tampak ayah sedang menunggu keduanya. Lepas mencium tangan pria paruh baya itu, Fahira bergegas ke kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Ayah meninggalkan keduanya setelah Fahira datang dan duduk berhadapan..Bayu tak bosan memandang gadis yang tengah meremas jemarinya. Meski aneh dengan tingkah yang tak biasa itu, dia menahan diri untuk mempertanyakan lebih lanjutnya.

Pria itu mengarahkan pembicaraan pada hal-hal ringan yang bisa mencairkan keadaan. Apa yang dilakukannya berhasil membuat Fahira mencair kembali.

“Maafin, ya sibuk sendiri. Aku janji akan lebih sering berkunjung.”

Fahira menatap pria itu lekat. Tiba-tiba merayap pada dirinya rasa bersalah hampir menggeser kesetiaan. Gadis itu beristigfar dalam hati atas melonggarnya keteguhan menetapi cinta.

“Kalau bukan karena permintaan mama, aku sebenernya pengen nikah lebih cepat. Bulan depan juga oke.”

Kalimat itu entah mengapa malah membuatnya menegang. Padahal selama ini, itulah yang ingin dia dengar. Fahira jadi tak mengerti perasaannya sendiri.

“Lebih cepat lebih baik ‘kan? Jujur, aku selalu takut ada yang rebut kamu dari sisiku.”

Deg!

Jantung Fahira menghentak kencang sekali. Tiba-tiba melintas bayangan Reynan di benaknya. Cepat-cepat ditepis senyuman yang mencengkram akal sehatnya.

“Fa, berjanjilah, apapun yang terjadi kau akan tetap di sisiku. Aku gak bisa bayangin hidup tanpa kamu.”

Bayu kembali masuk ke lorong bening manik hitam itu, menyelam hingga ke dasarnya. Mencoba menanamkan ulang keyakinan pada gadis yang entah mengapa seakan gamang.

“Apa Mas ragu padaku?”

Pertanyaan itu meluncur sebagai pembelaan diri atas tuduhan yang tepat menghantam ke ulu hatinya. Ia pun langsung meradang.

“Maksudku bukan begitu. Maaf kalau membuatmu tersinggung.”

Bayu tergagap di hadapan pertanyaan gadis pujaannya. Tak menyangka Fahira jadi sensitif begini. Ia tak mengerti di mana letak kesalahan pernyataan tersebut.

“Kalau Mas meragukan aku, baiknya tak usah diteruskan.”

Suara Fa naik satu level dari biasa. Kelelahan raga juga rasa didakwa mencuatkan sisi emosi jiwa.

“Fa, jangan bicara begitu. Aku benar-benar minta maaf. I love you soul and body.”

Fahira menundukkan kepala, jari meremas kuat gamis biru dongkernya. Perkataan bayu telak menikam hati yang memang sedang dilanda kegelisahan.
Bayu bangkit dan duduk di sofa yang lebih dekat dengan posisi Fahira. Ia akan mencoba meluluhkan hati gadis itu. Bahaya jika kesalahpahaman ini berlangsung lama.

Fahira menggeser posisi duduk. Ia masih jengkel pada ucapan Bayu. Untuk sekian menit keduanya saling diam.



DUDA MENTERENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang