Untaian itu bagai simfoni mendayu-dayu, meliuk-liukan hati yang mencoba bertahan pada kesetiaan. Entah mengapa Fahira tak ingin itu berakhir cepat. Ada yang meronta, mencoba meruntuhkan logika.
“Saya lancang, ya? Maaf ... Rasa rindu saya pada Ibu ternyata sangat menyiksa.”
Fahira merasakan getaran di ujung telpon makin terasa. Sesekali ada helaan berat mengiringinya. Dia pun mengalami hal yang tak jauh beda. Raga dan jiwanya bergetar, menahan sesuatu yang makin lancang menerjang.
“Pak, saya ....”
Ucapan itu menggantung di udara. Mengatakan yang sebenarnya berarti mengakhiri sesuatu yang baru saja memercikan bahagia di lorong jiwa.
“Maaf sekali lagi jika saya lancang menyampaikan apa yang hadir di hati saat ini. Entah mengapa rasa saya pada Ibu begitu luar biasa.”
Irama jantung Fahira menghentak-hentak, mengguncangkan rongga dada. Posisinya kini berganti, terduduk di tengah ranjang.
“Saya berharap setelah ini kita bisa lebih dekat lagi.”
Lama keduanya terjeda dalam diam. Semilir angin di jendela yang berbeda, sama-sama membelai wajah-wajah yang menghangat. Makin lama, makin menelusupkan kesejukan di tiap inchi raga.
“Agar kita mengenal lebih dalam, dan saya berharap setelah itu Ibu bisa membuka hati untuk saya.”
“Pak, saya ....”
Lagi, ucapan itu terputus di ujung bibir. Perasaan telah benar-benar mengingkari logika.
“Tak usah buru-buru memutuskan. Kita jalani saja secara alami. Besok saya bersama Aslena akan datang, boleh?”
“Iya ....”
Fahira merutuki kebodohannya mengiyakan permintaan yang mungkin akan membawanya pada prahara. Sejeda terlintas Bayu di ufuk pandangan. Namun, ia benar-benar terbawa perasaan.
“Terima kasih atas waktunya, maaf mengganggu. I hope we meet in a dream tonight.”
Sekeping merah bernama hati itu meluruh sudah. Kini, kegamangan makin menjadi.
Tiba-tiba ruang di dadanya terasa sempit. Sesuatu di rimbunan kelopak mata menggenang. Kegelisahan pun datang. Mengapa tak bisa hanya sekedar berkata tidak? Mengapa masuk dalam permainan hati yang jelas terlarang?.
Fahira membiarkan tetes-tetes bening itu membasahi layar pipih yang masih digenggam. Puas menangis, direbahkan tubuh yang makin lemas akibat tekanan kegalauan.
Baru saja akan memejamkan mata, ponsel keemasan itu kembali berdering.
“Gi apa?”
Suara lembut Bayu di seberang sana membuat Fahira makin tak menentu. Rasa bersalah mulai merayap ke celah-celah nurani. Apa pantas melepas kesetiaan demi sesuatu yang baru saja datang.
“Kok, diem? Sariawan, ya?”
Terdengar tawa renyah di seberang sana.
“Gak, gi cape aja. Mas udah sampe?”
Gadis itu sekuat mungkin menahan gejolak yang sedang mengguncang pertahanan.
“Aku rindu berat, Sayang. Besok aku ke rumah, ya.”
Seperti ada yang meledak di telinga. Refleks mengubah posisi, kaki diturunkan ke lantai, bangkit dan berjalan menuju jendela.
“Jangan! Oh, eh besok aku ada agenda. Lusa bagaimana?”
Dalam jeda semenit tak ada jawaban.
“Agenda apa? Kok baru bilang.”
Kegugupan makin menerpa guru cantik itu. Ditutup daun jendela yang masih terbuka seperempatnya. Sepertinya angin malam hanya menambah getaran di tubuh itu.
“Oh, eh, itu. Agenda sama anak murid.”
Kembali keduanya terjeda dalam diam. Fahira mampu menangkap keraguan di sisi Bayu akan alasan yang diberikan.
“Okelah, lusa aku ke rumah. Jangan ada agenda, ya?”
Lagi, Bayu menghadapi situasi ini dengan bijaksana. Fahira mengembuskan udara panjang, kecemasan pun hilang.
Selanjutnya perbincangan berlangsung seperti biasa. Saling berbagi cerita, melontarkan canda tawa. Hanya saja, kali ini ada yang berbeda di sisi Fahira. Di tengah gurauan dengan sang tunangan, kerap melintas bayangan yang mulai mengganggu kesetiaan.
Direbahkan badan di atas pembaringan. Kini, bayang dua pria itu silih berganti melintasi pandangan. Satu tetes kembali terjatuh dari kelopak yang belum kering seutuhnya.
Tak dipungkiri, pesona guru muda itu mulai memantik satu rasa yang membuat malam-malamnya ditimpa gelisah. Kala terpejam, bayangan itu kerap datang, mengetuk apa yang selama ini tertutup rapi.
Rasa ini mulai terdefinisi saat kebersamaan kemarin sore. Ingin hati mengulangi keindahan yang menorehkan asa di palung hati.
Setelah berhasil meredakan gejolak yang sempat meriak, Reynan mengalihkan pembicaraan pada janji Aslena.
"Nah, besok kita nginep di rumah Oma, okey."
Aslena tak jadi menggelengkan kepala melihat anggukan papa gantengnya.
"Mmm, Okey!"
Sesuai kesepakatan sebelumnya, Aslena harus mau menginap di rumah Oma. Meski sedikit enggan, gadis cilik itu menerpati janji juga.
Reynan paham kenapa putrinya tak mau ke rumah oma. Hal itu disebabkan selalu saja neneknya membahas masalah mama baru. Bahkan kerap mengundang beberapa wanita kenalannya saat mereka ada di sana. Dari deretan perempuan yang sengaja dipertemukan tak ada satu pun masuk di hati Aslena dan dirinya.
Esok paginya, Ayah dan anak itu bersiap menuju rumah oma. Pria itu tersenyum penuh kemenangan saat Aslena tak membantah lagi perihal menginap. Oma yang tak pantang menyerah meminta mereka menginap, membuatnya harus berstrategi agar putrinya mau ke sana.
Keduanya segera meluncur menuju perumahan 'Faradise Land' yamg terletak di kawasan elit Jakarta. Tak sampai satu jam mereka tiba di sebuah bangunan megah bergaya modern. Kaca-kaca terlihat dominan di area dinding depan.
Keduanya berdiri di depan pintu besar yang di permukaannya penuhi ukiran. Tak sampai semenit, seorang wanita anggun menyambut putra dan cucunya dengan wajah semringah.
"Omaaa!"
Gadis kecil itu langsung menghambur ke pelukan ibunda dari papanya. Tak henti wanita tua itu menciumi cucu satu-satunya.
"Duh, kok gak bilang dulu. Oma kan jadi gak siapin apa-apa."
"Kita beli aja, Mah."
Reynan mendahului ibunya masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju kamar untuk merapikan pakaian bekal Aslena.
Seharian, mereka menikmati kebersamaan. Obrolan hangat dan canda tawa meramaikan suasana rumah yang biasanya sepi.
"Aku udah mau punya mama, Oma."
Celotehan polos Aslena di gajebo belakang rumah membuat jantung Reynan terhentak. Mengapa terlupa membuat perjanjian dengan gadis cilik itu.
"Oh, ya. Siapa tuh?"
Oma menghentikan aktivitas mengaduk teh manis yang tersaji di atas meja kayu di depannya. Wanita berambut ikal itu memang sangat menginginkan putra sulungnya menikah.
"Ibu Fahira, guru aku," tambahnya dengan mata berbinar.
*
Tersedia di
KBM APP
EBOOK (Playstore)
NOVEL CETAK (081261934594
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA MENTERENG
RomanceReynan, duda tampan nan mapan mencintai Fahira, guru sekolah dasar yang mengajar putrinya. Namun, Fahira sudah bertunangan dengan Bayu, dan mereka akan segera menikah. Bagaimana nasib cinta sang duda?