7

8.8K 354 8
                                    

“Assalamualaikum.”

Ucapan salam seseorang membuyarkan kesunyian. Situasi yang mulai menegang menjadi hilang seketika kala masuk lelaki yang wajahnya serupa Fahira.

“Farhaan!”

Tanpa komando, Fahira menghambur ke arah pemuda yang baru pulang dari negeri Jiran. Mendengar teriakan nama Farhan Ayah dan Mama tergopoh menuju ruang tamu.

Adegan melepas rindu melingkupi ruangan itu. Obrolan hangat pun bergulir. Suasana tegang yang sempat tercipta, hilang entah ke mana.

Farhan memanfaatkan momen pertemuan dengan karibnya untuk ngobrol ke sana kemari. Kakak Fahira yang sekaligus sahabat bayu itu memang pandai membuat nyaman lawan bicara.

“Lah, kenapa nunggu tiga bulan lagi nikahnya? Keburu bulukan kalian. Hahaha!”

Farhan, kembaran Fahira sangat mendukung hubungan Bayu menjadi iparnya. Dialah aktor utama terjadinya pertunangan itu. Semua pria yang mengejar adiknya langsung dihalau tanpa ampun.

“Maunya sih cepet, Han, tapi ortu udah netapin tiga bulan lagi.”

“Yaudahlah. Yang penting kalian jadi nikah trus ngasih aku keponakan.”

Dua lelaki itu tertawa lepas. Sementara Fahira hanya tersenyum. Ia tahu kalau mereka sudah bertemu, kadang lupa orang di sampingnya

Lepas makan malam, Bayu pulang dalam keadaan semringah. Kehadiran Farhan adalah keberkahan untuknya. Sebagai pendukung utama, lelaki itu akan lebih memperlancar hubungannya dengan Fahira.

Setelah kepergian Bayu, Fahira memanfaatkan kebersamaannya dengan Farhan. Mereka bicara tentang aktivitas dan kehidupan masing-masing.

"Hubungan kalian baik-baik aja 'kan?"

Farhan melemparkan tatapan penuh selidik. Didekatkan wajah hingga terlihat makin jelas ekspresi lawan bicara.

"Hahaha!"

Fahira tertawa hambar. Lebih menertawakan diri sendiri yang diragukan dua lelaki. Ditepis wajah yang menurutnya sok serius itu.

"Bayu itu sempurna. Dia pasti bisa bahagiain kamu. Gak usah tergoda sana-sini."

Diacak rambut saudara kandung satu-satunya itu. Fahira berdecih dan menggeser posisi duduk.

"Yeee! Siapa juga yang lirik-lirik. Yang ada aku banyak dilirik, hihihi!"

"Dasar! Aku Cuma pengen yang terbaik buat kloninganku yang cuakepnya lima benua."

Farhan kembali mengacak rambut kembarannya. Fahira melotot dan membalas. Malam itu keduanya kejar-kejaran sampai mama berteriak kewalahan.

Mama memberi perintah agar saudara kembar itu segera masuk kamar. Meski enggan, dituruti juga titah wanita paruh baya itu.

*

"Papa, kok senyum-senyum sendiri?"

Aslena duduk di pangkuan Reynan yang tengah bersantai lepas makan malam. Pria itu memeluk erat putrinya, Keduanya menikmati kebersamaan, memandang bintang-bintang di pekatnya malam.

Balkon kamar yang hanya dipagari besi setingg dua pertiga badan orang dewasa ini memang tempat yang cocok untuk menikmati taburan gemintang. Reynan amat menyukainya terutama kala hati dilanda kegelisahan.

"Enggak, kok, Siapa yang senyum, hayo?"

Sesekali diselipkan anak rambut Aslena yang berantakan di terpa angin malam. Kecupan pun didaratkan pada puncaknya.

"Tadi aku liat Papa senyum mandangin bintang. Emang lucu, ya, bintangnya?"

Aslena menghadapkan badan pada Papa, mengerjapkan mata yang membuat Reynan makin gemas saja.

"Hahaha! Bintangnya lucu, kayak-"

Pria itu menahan bibir agar tak menyebut nama seseorang yang dilamunkan sedari tadi. Ia tak ingin putrinya bingung akan perasaan orang dewasa.

"Lucu kayak putri Papa, muach!"

Pipi putih itu sekali lagi mendapat kecupan. Mata Aslena tiba-tiba membesar, ia teringat sesuatu tentang ibu gurunya.

"Bu Guru Fa juga lucu. Rambutnya dikucir ke atas, hihihi!"

Jantung itu tiba-tiba menghentak, lalu darah ikut berdesir. Sekilas ditepis bayangan liar yang lancang bertandang.

"Sssst! Jangan kasih tahu rambut dan badan Bu Guru ke Papa. Itu aurat."

Reynan menyimpan telunjuk ke bibir gadis mungil itu. Aslena memiringkan wajah, menggoyangkannya sebagai tanda tak mengerti.

"Bu Guru bukan mahrom. Jadi Papa gak boleh lihat, gak boleh tahu rambut dan badannya."

Meski tak paham, gadis cilik itu manggut-manggut. Hanya saja ia belum puas, lalu bertanya lagi.

"Kok, Papa boleh liat rambutku?"

Tangan mungil itu dilingkarkan pada leher lelaki berkacamata di depannya. Sesekali pindah ke pipi untuk mengelus bulu-bulu di sana.

"Aslena putri Papa jadi boleh dilihat. Oma sama Tante Ledia juga mahrom Papa. Kalau Bu Fa bukan kecuali ... mmm ... jadi mama Aslena."

Tiba-tiba terpancar kilat bahagia di mata mungil itu. Sudut bibirnya melengkung ke atas.

"Kalau Bu Fa jadi mama Aslena, mau?" tanya pria beralis tebal itu. Tangannya memangkup pada dua sisi pipi Aslena.

"Mau! Mauuu!"

Aslena melonjak-lonjakkan badan kegirangan di atas pangkuan. Paha Reynan pun berguncang-guncang dibuatnya.

"Berdoa sama Allah agar Bu Fa jadi mama Aslena."

"Iya! Aku bakal berdoa tiap hari supaya Bu Fa jadi mamaku!"

Reynan mendekap kembali putri kecilnya. Pria itu tak mampu menyembunyikan senyum sebagai simbol perasaan indah di hatinya kini.

*

DUDA MENTERENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang