9

6.1K 217 2
                                    


Terlihat, wanita muda itu pun salah tingkah. Meski samar, tangannya tampak bergetar. Untuk sekian detik, keduanya sama terpaku. Sempat beradu tatap, lalu memalingkan pandangan.

Reynan menarik sudut bibir seiring langkahnya menghampiri gadis yang tengah merona. Diuntaikan salam dengan sedikit getaran. Jawaban dari bibir merah itu tak jauh beda dengan dirinya, bergetar.

“Mau belanja?“

“Ehm ... iya.” Fahira tak berani menatap mata yang memancarkan sejuta pesona.

“Kalau begitu kebetulan, mari!”

“Eh, tak usah, saya sendiri saja, permisi!”

Fahira mendahului pria yang lebih tinggi dua puluh lima senti darinya. Hanya saja gadis itu harus membuang jauh-jauh harapan tak diikuti sebab Reynan kini telah menyejajari langkahnya.

Pria beralis tebal itu mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Fahira berbincang seputar dunia anak dan pendidikan. Cara itu dalam waktu singkat mampu membuat sang guru menyambut antusias tiap pertanyaan.

Aktivitas belanja menjadi ringan di sisi Fahira sebab diiringi obrolan ringan bersama pria yang tak seharusnya membersamai. Satu jam sudah keduanya melewati rak demi rak berbagai jenis barang. Kadang Reynan membantu mengambil barang yang tak terjangkau tangan Fahira. Sesekali bercanda dengan menarik benda yang sudah disodorkan, lalu keduanya tertawa.

“Haus, ya. Minum dulu di sana, ayo!”

“Ehmm!” Fahira melirik benda melingkar di pergelangan tangannya.

“Hanya sebentar, ayo!”

Mau tak mau Fahira mengikuti langkah pria tegap itu. Tak sampai lima menit keduanya sudah duduk di salah satu foodcourt di mall tersebut. Duduk berhadapan di depan meja kotak coklat. Di tengahnya terdapat tissu dan tusuk gigi.

Perbincangan kembali mengalir setelah sama-sama nyaman.

“Saya bahagia sekali hari ini. Saya harap kebersamaan ini bisa berlanjut.“

Seiring detak jantung yang mengencang, minuman yang belum tertelan hampir saja menyembur keluar. Cepat-cepat Fahira menguasai kekagetan.

“Maaf, sudah sore. Saya harus segera pulang.”

Fahira langsung mengucap kalimat yang membuat Reynan menahan perkataan selanjutnya.

“Ah, iya. Baiknya kita segera pulang.”

Kini, keduanya terjeda dalam kecanggungan. Hingga ke parkiran barulah keluar kata-kata.

“Terima kasih untuk kebersamaan ini. Semoga Ibu Fa tak kapok ngobrol dengan saya.”

“Tentu saja tidak, Pak. Saya juga mengucapkan terima kasih. Saya permisi!”

Sigap, Reynan membantu menggeser motor hingga di posisi mengarah keluar parkiran.

“Harapan saya itu dari hati.”

Sebelum Fa melajukan motor, pria itu memegang stang hingga jarak wajah mereka cukup dekat. Dalam posisi ini debaran di kiri dada keduanya bertalu-talu.

Takut makin terguncang, guru muda itu menghidupkan motor dan melesatkan menuju jalan raya.

Fahira kehilangan konsentrasi kini. Ia menepikan motor untuk menghindari hal yang tak diinginkan. Dielus dada yang tak bisa diam itu. Berulang dilanfazkan istigfar.

Setelah mampu mengendalikan diri, guru wanita itu melanjutkan perjalanan. Lepas tiga puluh menit ia sampai.

Fahira cepat-cepat menuju kamar setelah menyerahkan kantung belanja pada ibunya. Ia ingin rebahan untuk menetralisir sesesuatu yang meresahkannya kini.

Tanpa mengganti pakaian, wanita berkulit kuning langsat itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ditarik selimut untuk menghangatkan tubuh yang tiba-tiba menggigil. Ia pun bersembunyi di dalamnya hingga keguncangan di hatinya reda.

*

Tujuh hari sudah kisah kebersamaan di mall itu berlalu. Yang ada kegelisahan makin mengganggu. Tiada detik, tiada menit selalu dan selalu wajah itu melintasi kalbu.

Reynan menutup laptop, menghentikan pekerjaan memeriksa beberapa file. Pikirannya tak bisa fokus pada data-data yang terpampang di layar pipih itu.

Bayangan Fahira telah merampas seluruh konsentrasi. Wajah, senyum dan tawanya menjajah ruang angan. Siang malam dilalui dengan kegelisahan. Bahkan mimpi-mimpi pun berhiaskan dia seorang. Kerinduan akan dekapan hangat wanita mulai hadir kembali.

Buka WA, tulis pesan, delet. Begitu terus hingga waktu menemui kepekatannya. Tak tahan, diklik juga nomor wanita yang telah meruntuhkan segala pertahanan.

Dipanggilan kelima, suara yang telah membuatnya hampir gila itu menguntai salam.

“Maaf mengganggu Ibu malam-malam begini.”

Baru kali ini lidah Reynan terasa berat menguntai kata. Kehebatan retorikanya sebagai general manajer andalan tak berlaku di saat ini. Kentara sekali getaran di pita suaranya.

“Iya, ada apa, Pak?”

Reynan mampu menangkap suara Fahira tak jauh beda dengan dirinya, serak dan bergetar.

“Aslena titip salam pada Ibu. Katanya rindu.“

Irama di dada kiri makin tak karuan. Tirai gorden yang meliuk-liuk terterpa angin malam seakan sedang menertawakanya.

“Iya, saya juga rindu pada Aslena.”

Reynan mengubah posisi, dia bangun dari sofa, berjalan menuju jendela yang belum menutup sempurna. Disibak sempurna tirai keemasan bercorak dedaunan. Langit beserta gugusan bintang tiba-tiba menampakan satu wajah yang suaranya sedang ia resapi.

“Saya mau minta maaf pada Ibu.”

Reynan menyorongkan kepala keluar jendela, menghirup panjang udara malam. Sementara korneanya mencoba menembus kegelapan.

“Maksud Bapak?”

Ada keheranan pada suara Fahira di sana. Dia tahu gadis itu grogi tingkat tinggi.

“Maaf karena saya telah sangat merindukan Ibu .... “

*


DUDA MENTERENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang