Gadis cantik itu membawa Aslena ke ruang santai. Mengajaknya ngobrol dari hati ke hati di atas sofbed polkadot paduan biru langit dan hijau daun. Diambilkan beberapa boneka yang tersimpan rapi di lemari kaca sebelah kanan televisi.Guru sekolah dasar itu memahami benar bahwa anak butuh kelembutan agar tumbuh kembang karakter mereka sehat. Untuk itulah Fahira tak sungkan menyelipkan pesan pendidikan pra balig pada orang tua murid peserta didiknya. Tujuh tahun bergelut dengan dunia anak membuatnya makin memahami bahwa manusia kecil yang di didik dengan kekerasan akan membentuk pribadi penakut sekaligus pembangkang kelak saat mereka dewasa.
Ibu Salma kadang ikut bergabung dengan mereka, larut dalam canda tawa. Sampai pada pembicaraan yang membuatnya terlonjak. Ia tak menyangka kalau Aslena telah kehilangan mama sejak lama. Ada denyut perih melihat gadis kecil itu meneteskan air mata. Didekap erat anak yang sedang sesenggukan.
Fahira pun tak kuasa menahan jatuhnya bulir bening di pipi. Nyeri nian mendapati anak sekecil itu sudah tak mendapat kasih sayang seorang ibu. Tiba-tiba rasa sayang itu semakin mendalam.
Untuk menghilangkan kesedihan Fahira mengajak Aslena main petak umpet.
“Kenaa!” Fahira menangkap tubuh mungil yang tengah bersembunyi di taman di depan beranda samping rumahnya. Ada beberapa pohon bonsai dan palem yang tak mungkin menutupi sempurna tubuh itu.
“Waaa!” Aslena menjerit saking kaget dipeluk tiba-tiba oleh gurunya.
Selain bermain, Fahira pun mengajak Aslena menggambar, menulis, juga memasak. Riuh tawa di dapur tak dapat dihindari. Suara alat masak menambah ramai suasana.
Mama hanya menggeleng-gelengkan kepala. Entah mengapa begitu mudah ia jatuh hati pada gadis mungil berkulit putih itu.
Ia pun tak sungkan untuk ikut bergabung dalam acara masak memasak. Selanjutnya acara makan bersama dilakukan. Celotehan Aslena di meja makan, kembali mengundang tawa kedua wanita itu.
Kehangatan keluarga ini membuat Aslena betah berlama-lama di sini. Bahkan, jika boleh ia ingin menginap saja. Namun, segera ditepis keinginan itu sebab papa pasti takkan mengizinkan.
**
Tak terasa waktu menanjak menuju sore. Aslena mulai merajuk meminta sesuatu yang membuat Fariha kebingungan.
“Harus izin Papa dulu kalau mau makan di luar. Kita pesen online aja pizzanya.”
Fahira mencari kata agar Aslena menghentikan keinginannya jalan-jalan ke mall untuk makan pizza. Ditawarkan beberapa alternatif, tetapi putri kecil itu tetap kukuh dengan keinginannya.
“Papa pasti ngizinin. Aku udah lama pengen makan pizza di luar, tapi Papa selalu gak bisa nemenin. Pulangnya malem aja.”
Kembali, gadis kecil itu muram. Luluh juga hati Fahira melihat kemuraman di wajah putih itu.
“Yaudah kita telpon Papa dulu, ya?” bujuk Fahira.
“Iya, kah? Asiiik!” seru Aslena.
Refleks Aslena merangkul Fahira, menciumi kedua pipinya. Gadis itu tersenyum, dibalas ciuman itu dengan gemas. Hari ini dia serasa menjadi seorang ibu sesungguhnya.
Fahira menghirup udara dalam-dalam sebelum menelpon papa Aslena. Satu tangan mengelus dada untuk menghilangkan detak-detak yang entah apa namanya. Setelah panggilan ketiga barulah Reynan mengangkatnya.
Lepas mengucap salam, gadis itu menyampaikan maksudnya. Ditata suara agar tak terdengar getaran di sana.
“Aduh, Aslena jadi merepotkan, ya? Maaf, Ibu.” Suara bariton itu entah kenapa terdengar merdu. Sampai-sampai ia pun tersihir dibuatnya.
“Saya juga kebetulan mau belanja, jadi tidak masalah, Pak.”
Fahira bingung sendiri mengapa sampai mengucap kata-kata tersebut. Kegrogian telah membuatnya berkata di luar kendali ternyata.
Satu hal lagi yang membuatnya tak enak ketika Reynan memaksa memberitahu nomor rekening. Pria itu tak mau membebani dirinya soal materi. Namun, setelah debat yang cukup alot, Fahira berhasil meyakinkan bahwa ini adalah hadiah untuk Aslena.
Sepanjang mall, Aslena menarik tangan guru kesayangannya. Hanya butuh lima menit untuk sampai ke counter pizza hut.
Mereka duduk di meja baris kedua dari depan. Selanjutnya memesan pizza ukuran sedang untuk berdua. Tak lupa memesan tiga lagi untuk Reynan dan orang tua Fahira.
“Aslena suka?”
“Suka banget!” jawabnya sambil mengacungkan ibu jarinya. Sementara mulut dipenuhi potongan pizza. Fahira tertawa kecil melihat tingkah menggemaskan itu.
Di tengah asyiknya makan, seseorang menghampiri mereka. Detak jantung Fariha seakan melambat menyadari Reynan telah berdiri di depannya.
“Papa!”
Aslena kaget campur bahagia mendapati kehadiran papanya. Ditunda suapan pizza menuju mulutnya.
“Sayang.”
Reynan memeluk dan mencium putrinya berulang-ulang. Setelah puas melepas rindu, dia langsung menarik kursi tepat di hadapan guru muda yang hatinya tengah tak karuan.
“Maaf, merepotkan Ibu seharian ini. Saya sangat, sangat berterima kasih atas semuanya,” tutur pria pemilik senyum menawan itu.
“Aslena sangat baik, tidak merepotkan sama sekali. Saya malah terhibur seharian ini.”
Sekuat mungkin, Fahira menahan suaranya agar tak ada getaran. Reynan menatapnya dalam, melemparkan senyuman yang memantik getaran tersendiri di diri gadis itu. Lepas lima detik dipalingkan pandangan.
Sepanjang kebersamaan itu, Aslena tak henti menceritakan berbagai kegiatan di rumah Fahira. Sesekali dia tertawa kala mengingat kelucuan yang tercipta.
“Wah, hebat. Nanti bikinin ayam goreng buat Papa, ya.”
Reynan mencubit gemas pipi putrinya yang terlihat lebih menggembung akibat mulut penuh makanan.
“Aku belum bisa, 'kan Cuma bantuin aja. Bu Guru aja yang bikin. Enak banget, Pah! Ibu boleh gak Papa makan ayam goreng buatan Ibu?”
Fahira tersedak mendengar ungkapan polos muridnya. Refleks Reynan menyodorkan minum, kecemasan terlihat di sorot sendu itu.
“Ibu gak apa-apa?”
Guru muda itu masih saja terbatuk, sampai-sampai Aslena memeluk tangannya.
“Ibu sakit, ya. Maafin aku.”
Setelah batuk terhenti Fahira membalas pelukan gadis kecil itu. Reynan seolah dejavu, keadaan ini mirip dengan kejadian saat istrinya terbatuk di sebuah restoran. Hatinya bergetar melihat pemandangan di depannya. Kenangan almarhumah kembali terlintas di ruang angan.
“Ibu gakpapa. Jangan nangis, ah. Nanti cantiknya ilang,” ungkap Fahira.
Lembut, Fahira mengusap rinai yang telah membasahi pipi putih kemerahan itu.
“Bolehkan Papa makan ayam goreng buatan Ibu?”
Gadis itu mengangguk. Sekali lagi dikecup kening putri mungil yang makin ia cintai. Saat mengarahkan kembali pandangan ke depan, matanya langsung bertemu dengan tatapan hangat pria itu. Sorotannya menelusupkan getaran yang mulai mengguncangkan pertahanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA MENTERENG
RomanceReynan, duda tampan nan mapan mencintai Fahira, guru sekolah dasar yang mengajar putrinya. Namun, Fahira sudah bertunangan dengan Bayu, dan mereka akan segera menikah. Bagaimana nasib cinta sang duda?