BAB IV

169 13 6
                                    

ANAK PRESIDEN

Ale berjalan dengan semangat menuju Jawa Cafe tempat dia membuat janji dengan Tania, gadis yang kecantikannya hampir tidak pernah dia temui sebelumnya, setidaknya menurut idealismenya tentang kecantikan seorang wanita.

Dia berjalan dengan penampilan maskulin, celana jeans biru dan jaket kulit hitam dengan setangkai bunga mawar, wajah tampannya membuat wanita manapun akan melirik keapada Ale, tapi seolah tidak ada satu wanita manapun saat ini yang dapat mengalihkan perhatiannya dari Tania.

Di depan pintu Cafe, sudah ada dua pria tegap berkacamata hitam pakaian kasual dengan rambut potongan militer, berdiri menahan siapapun yang akan memasuki cafe, mereka adalah Pasukan pengaman presiden Indonesia Kompi II yang bertugas menjaga keluarga presiden.

Kedua pria itu menatap Ale dengan waspada, salah satunya melangkah maju dan yang lainnya lagi dengan gerakan halus bersiap kapanpun mencabut pistol yang melekat di pinggang.

"Maaf mas, ruangan Cafe hari ini sudah penuh dan sudah dipesan", kata salah satunya.

"Saya mau bertemu dengan Tania", jawab Ale dengan tenang.

"Ada urusan apa dengan mbak Tania ?", tanya salah satu penjaga itu dengan curiga, sebagai anak Presiden Tania adalah alasan kenapa meraka berada di tempat itu.

"Umm .. sebenarnya, saya pacar mbak Tania mas", kata Ale sambil menahan perasaan geli.

Kedua penjaga itu saling bertatap pandang, "tunggu sebentar" kata penjaga yang satunya sambil mengeluarkan radio panggil dan berjalan mejauh dari Ale, menghubungi penjaga lain di dalam Cafe memberi tahu keadatangan tamu untuk Merpati, kode panggilan kompi untuk seorang anak presiden.

Tidak lama kemudian penjaga tersebut menghampiri Ale, "silahkan masuk mas, ditunggu mbak Tania di dalam, tapi .. sebelum itu, untuk keamanan kami periksa dulu baju anda, permisi, silahkan angkat kedua tangan anda".

Yang benar saja ..., batin Ale, sambil mendengus pelan.

Penjaga itu meraba cepat tangan hingga kaki Ale dan penjaga yang satunya menyapukan metal detector ke tubuh Ale,.

"Aman ... silahkan masuk mas, maaf atas ketidak nyamannya" kata penjaga itu dengan ekspresi ramah yang dipaksakan.

Dengan malas Ale menyodorkan setangkai bunga mawar yang sedari tadi dia genggam kepada penjaga "Apakah ini juga perlu di periksa, mungkin ?".

Kedua penjaga itu tersenyum kecut sambil membukakan pintu Cafe.

"Ale ...", Tania yang sedari tadi duduk menunggu Ale berdiri dengan semangat sambil melambaikan tangan kepada kekasihnya yang tampan itu, kemudian sambil berjalan menuju arahnya dibalas senyuman manis penuh arti oleh Ale.

"Aku melihatmu di depan tadi, kenapa lama sekali ?" Tania memberikan tatapan menggoda kepada Ale yagn sudah duduk di depannya, pembicaraan mereka sesaat terpotong oleh pelayan datang menawarkan makanan dan minuman yang bisa dipesan.

"Terkadang aku berharap punya pacar anak penjual bunga daripada anak presdien, mau bertemu untuk kencan saja ribetnya minta ampun", Ale terkekeh melanjutkan.

"Hei, mana aku tahu ayahku akan terpilih dalam pemilihan Presiden, enam bulan yang lalu aku hanya anak seorang Walikota kan ?", Tania menjawab Ale dengan memanyunkan bibirnya.

Tania teringat ketika Ale menyatakan cinta setelah mereka bertemu dalam undangan kelulusan Perwira Kepolisian dimana adik Tania salah satu lulusannya dan Ale datang sebagai staf muda salah satu Pejabat tinggi kepolisian Indonesia.

"Bagaimana dengan kantor barumu Ale ? Apakah kamu kerasan ?", Tania bertanya sambil memegang tangan kekasihnya itu.

"Menjadi Intelejen Negara membuatku lebih banyak memakai kaos oblong dan jaket kulit dariapada seragam, terkadang sangking menghayati aku sampai bingung aku ini bekerja sebagai apa", Ale berbicara santai sambil diam - diam terus mengagumi kecantikan Tania.

"Apakah ada tugas penting yang sedang kamu kerjakan sayang ?", Tania mencoba memberikan pertian kepada pekerjaan Ale.

"Tidak ada yang spesial, hanya tugas rutin setiap hari dan menunggu perintah selanjutnya dari atasanku, dan begitu, dan begitu seterusnya", Ale mencoba sealami mungkin meyakinkan Tania bahwa pekerjaan intelejen adalah pekerjaan membosankan, dia mencoba menutupi tugas besar yang sedang dia lakukan, memata - matai proyek Borneo, sebuah protokol standar seorang intelejen utnuk merahasiakan semua misinya kepada siapapun kecuali pejabat yang berwenang.

Meskipun Indonesia dan Amerika bersama mengerjakan proyek tersebut, Badan Intelejen Indonesia-BIN secara diam - diam menugaskan beberapa agennya termasuk Ale untuk mengumpulkan informasi kegiatan tim Amerika dan tim Indonesia sebagai antisipasi hal yang tidak diinginkan, dan begitu juga Amerika melakukan hal yang sama.

Tipikal hubungan klasik politik antar negara yang tidak bisa percaya satu sama lain.

"Setidaknya, bagus untuk kita, kamu bisa lebih bisa perhatian ke aku", Tania mencondongkan tubuhnya ke Ale sambil setengah menggod.

"Terlebih aku sayang", Ale membalas dengan suara maskulinnya, hati Tania berdebar yang tanpa sadar membuat dia menggigit lembut bibirnya sendiri.

Ketika keduanya sedang mabuk oleh suasana romantis, telepon pintar Ale berderak di atas meja.

Sebuah panggilan masuk dengan tampilan layar tanpa foto dan tanpa nomor, Ale mengambilnya dan menekan ikon "menjawab" di layar, Sebuah suara lelaki terdengar jelas dan tegas di telinga Ale, singkat dan padat.

"Kode 1, segera ke anjungan", sebuah kode panggilan prioritas dari kantor pusat kepada agen yang sedang bertugas di lapangan untuk segera datang melapor pada saat itu juga tidak peduli apapun alasannya, kecuali terkepung oleh musuh.

"Siaga 1", Ale menjawab telepon yang artinya -Siap Segera Datang.

Dengan mimik serius, Ale paham panggilan telepon dengan kode seperti itu jarang digunakan oleh kantornya kecuali terjadi hal seperti negara sedang memulai perang atau sedang diserang.

Tania melihat ketegangan wajah Ale, "Kenapa sayang ? Ada masalah ?".

"Tania, maafkan aku, tapi sepertinya aku harus segera melapor ke kantor, ada hal yang harus aku selesaikan, aku akan segera menelponmu segera sesaat masalah ini selesai", Ale menggenggam erat tangan kekasihnya itu mencoba mengurangi kekecewaan yang tergambar jelas dari raut wajah Tania.

Sesaat Tania terdiam tanpa memperdulikan Ale, dengan bibir berengut sedikit menundukkan wajahnya memandang tanpa arti hidangan di atas meja menunjukkan kekalutan yang sedang dirasakannya saat ini.

Kemudian tidak terlalu lama dia membalas lembut genggaman tangan Ale sembari menunjukkan senyum pengertian yang sedikit konyol.

"Kadang aku juga berpikir lebih baik memiliki pacar seorang guru daripada seorang intelejen"

Ale tertawa geli, meraih kedua tangan Tania dan menciumnya.

Setelah itu Ale bergegas beranjak pergi dan ketika melewati pintu, dia menoleh kepada penjaga memberi hormat dengan dua jari sambil mengedipkan mata.

Kedua pengawal presiden yang dilewati Ale saling melirik satu sama lain tanpa ekspresi.

3 I N T E L I J E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang