BAB VII

22 1 0
                                    

BADAN INTELIJEN NEGARA -BIN

“Kapten Ale, masuklah silahkan duduk,” Kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia – BIN, Jenderal Purnawirawan Slamet Riyadi menyambut kedatangan Ale di ruangannya yang memang sudah dia tunggu sedari tadi.

Ale memasuki ruangan pimpinan berbentuk persegi yang cukup luas dan tertata rapi dengan hiasan tanaman hidroponik langka yang ditanam di sebuah pot besar di beberapa sudut ruangan.

Jenderal Slamet duduk di balik meja besar yang tampak kokoh dari ukiran kayu jati, bagian atas meja dilapisi kaca tebal berwarna hitam menambah kesan elegan, lambang BIN terbuat dari ukiran tembaga berawana emas menempel gagah di tembok persis di belakang tempat duduk sang Jenderal.
Jenderal Slamet adalah pensiunan dari Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia -TNI yang sangat berpengalaman dalam berbagai operasi tempur dan pengorganisasian mata-mata, penampilannya yang rapi dan dengan potongan rambut ala militer yang sebagaian sudah memutih memberikan kesan kalem namun berwibawa.

Beberapa bulan lalu presiden memutuskan untuk memilihnya sebagai orang teratas dalam dinas rahasia negara setelah mempertimbangkan masukan dari para ahli militer Indonesia, dari rangkaian berbagai tes yang diberikan Jenderal Slamet lulus dengan nilai nyaris sempurna.

“Siap Jenderal, terimakasih,” Ale mengangkat tangannya memberi hormat terlebih dahulu kemudian manarik kursi dan duduk tegap di depan meja komandannya.

“Perkembangan Proyek Borneo, aku sudah mendapatkan laporanmu, menarik sekali apa yang kamu dapat Ale, terutama tentang teman Amerika kita yang selalu saja mengambil sampel kecil Kristal Atlantis tanpa sepengetahuan kita,” suara bariton Jenderal Slamet terdengar tegas sekaligus menghanyutkan.

“Siap terimakasih Jenderal,” Ale menjawab tanpa ekspresi.

"Kita biarkan saja seolah kita tidak tahu, kita simpan sebagai alat untuk menyerang mereka jika terjadi konflik nantinya, yang terpenting adalah kita sudah merekam semua kecurangan tim Amerika,” Jenderal Slamet kemudian menekan tombol hijau di atas mejanya untuk memanggil salah satu staf rumah tangga  yagn sudah selalu siap sedia di balik pintu,melayani kapanpun sang pimpinan membutuhkan.

"Kopi atau teh ?"

"Siap, Kopi, Jenderal."

Dalam hitungan detik seorang pria paruh baya petugas rumah tangga masuk dengan sikap sopan seperti pelayan hotel berkelas yang siap melayani tamunya.

"Parmin, tolong bawakan kopi dua ya."
"Baik pak,” kemudian staf yang sudah berumur itu segera berbalik keluar dan menutup pintu.

Jenderal Slamet melanjutkan perkataannya dengan serius, “Aku mendapatkan laporan tadi pagi tentang pihak Amerika menangkap seseorang yang diduga berhasil mencuri semua data – data proyek Borneo dan saat ini sudah diamankan di Mabes Polri."

“Apakah sudah diketahui siapa orang ini pak ?”

“Data sementara yang disampaikan CIA kepada kita, orang ini bernama Christopher Hall warga London Inggris, pekerjaan ahli Botani, dan sudah berada di Indonesia sejasebulan lalu, menginap di hotel bintang 5 di Jakartadan sejauh ini semua dokumen adalah asli, tapi tentu saja kita tidak bisa langsung mempercayai data itu.”

“Saya juga sependapat dengan anda pak, tawanan itu bisa jadi siapa saja, China, Rusia atau bahkan memang Inggris,” ekspresi Ale tidak kalah serius.

"Benar, bahkan sekutu paling setia sekalipun dengan senang hati akan menjadi lawan untuk mendapatkan kristal atlantis, tapi kita tidak bisa bekerjahanya dengan menebak - nebak, saat ini hanya pihak Amerika yang menginterogasi tahanan tersebut, aku sudah berbicara dengan presiden meminta dibentuk tim gabungan, kita dengan CIA untuk penyelidikan lebih lanjut,” Jenderal Slamet kemudian meraih bungkus rokok kretek di atas mejanya, mengambil sebatang kemudian merebakan diri di sandaran kursinya yang telihat mewah dan menjulang sambil menyalakan korek besi klasiknya.

Asap tembakau yang lembut mulai mengepul di ruangan dan sesaat kemudian langsung terhisap oleh blower yagn terpasang di langit -langit ruangan.

Sebelum membangun, sepertinya arsitek gedung kantor pusat Intelijen Indonesia seolah sudah paham bahwa dirinya harus menggabungkan antara pendingin ruangan dan alat penghisap asap, mengantisipasi kemungkinan besar gedung akan ditempati oleh orang - orang yang suka menghisap asap tembakau, kebiasaan yang dihasilkan karena tekanan pekerjaan yang tidak biasa.

"Nanti tugasmu adalah melaporkan semua hasil interogasi tawanan, dan jangan sampai ada yang terlewat, kita harus tahu apa yang Amerika tahu."
Ale masih diam memperhatikan, otak cerdasnya sudah membuat gambaran apa saja yang harus dia lakukan untuk tugas kali ini, temrasuk beberapa rencana cadangan jika langkah awal gagal.

"Kapan saya bisa bertugas pak ?"

"Kita menunggu izin dari presiden terlebih dahulu, paling lama lusa kamu sudah bisa melakukan interogasi kepada tawanan dan aha ... ini dia yang kita tunggu,” Parmin masuk ke ruangan dengan membawa nampan yang di atasnya seduhan kopi dalam dua cangkir porselen antik dan semangkuk gula kuning, harum bau kopi membangkitkan semangat yang menciumnya.

"Kopi robusta murni hasil penggorengan dengan kayu kelapa, aku rasa tidak ada yang lebih baik untuk menemani pembicaraan masalah rahasia negara selain dengan cara ini,” Jenderal Slamet tersenyum lebar sambil segera menyecap kopi di dalam cangkirnya, diikuti senyuman setuju Kapten Ale.

"Ale setidaknya aku ingin tahu apa rencanamu untuk mengorek informasi tawanan ini ? Kamu juga pasti paham orang yang dapat menembus keamanan operasi rahasia tingkat elit seperti Proyek Borneo pasti bukan suruhan sembarangan yang dengan mudahnya akan memgaku,” Jenderal Slamet melanjutkan.

"Dalam situasi seperti ini tidak ada yang lebih efektif daripada negosiasi pak, tawanan kita memiliki kartu As kita, dengan kata lain kita sebenarnya tersandera,” Ale menjawab dengan penuh percaya diri.

Sesaat Jendral Slamet mengangguk setuju tepi kemudian menggelengkan kepalanya, "Betul juga yang kamu katakan, faktanya kita harus menukar informasi yang kita miliki dengan apa yang dia mau, hanya saja masalahnya jika yang diinginkan hanya data itu dan tawanan sudah siap menanggung resiko terberat kita tidak bisa apa -apa selain mencoba mengorek informasi dengan penyiksaan.”

"Sepertinya kita harus segera melakukan interogasi langsung Pak dengan tawanan sehingga saya dapat menegidentifikasi apakah dia termasuk mata - mata biasa atau memang prajurit elit."

"Baiklah, sambil menunggu izin presiden tentang hal ini, ada tugas lain yang aku minta kamu selesaikan, aku dengar di Surabaya ada seseorang yang memiliki sepeda motor klasik Mercy model Bomber asli buatan Jerman tahun 1945, aku ingin kamu mencari informasi tentang harganya dan apakah dia mau menjualnya, aku sudah lama menginginkan model langka seperti itu."

" Sepertinya itu memang barang bagus Jenderal, akan segera saya cari informasinya,” sebagai sesama pecinta sepeda motor klasik peninggalan perang dunia II, Ale paham jika sekarang saatnya untuk meladeni komandanya berbicara tentang hobi keduanya yang sama, dan biasanya akan menghabiskan waktu berjam -jam.

3 I N T E L I J E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang