Twenty four

488 42 10
                                    

Gue membangunkan Somi perlahan tepat jam delapan malam. Sengaja gua bangunin dia, soalnya gue tau dari tadi siang ini anak belum makan apapun.

Gue elus kepala dia sayang, merapihkan anak rambut dia yang sedikit berantakan.

"Somi," kata gue pelan.

Somi masih enggan ngebuka mata, omongan gue cuma disambut lenguhan lemah dia.

"Bangun dulu ya, tante udah siapin makan buat kamu. Somi ngga laper?"

Badan somi bergeser, membuka mata perlahan.

"Tante,"

"Iya, makan dulu yuk. Ditunggu om Sehun dibawah."

Somi mengangguk sambil merentangkan lebar tangannya ke atas.

Gue dan dia melangkah beriringan menuju ruang makan. Disana juga udah ada Sehun yang lagi duduk sambil memainkan ponsel.

Sehun menoleh ke arah gue dan Somi.

"Udah bangun?" tanya dia.

"Yaudahlah, kalo Somi belum bangun, terus anak yang gue bawa ini siapa?" heran gue. Si Sehun kalo mau basa basi yang realistis kek.

Sehun terkekeh. "Dasar emosian."

Gue balas dengan cemberut meledek.

Sehun menarik kursi untuk Somi duduki. Memperkenalkan menu yang ada di meja makan malam ini.

"Somi suka yang mana? Telur sambal goreng, atau capcai?"

Somi nampak memilah milih. "Capcai om."

Tangan Sehun dengan cekatan mengambilkan secukupnya capcai untuk Somi.

"Ini nggak pedas kok," Kata Sehun.

"Om sama tante nggak suka pedas?" tanya Somi seraya mengunyah makanannya.

"Suka," Kata Sehun. "Tapi yang masak manis, jadi sayurnya ikut ketularan manis."

Gue langsung mengeluarkan ekspresi jijik, pengin muntah didepan Sehun. Yang disambut Somi dengan tawa singkatnya.

"Cieee..."

Kemudian gue nyengir ke Somi.

"Tante, kalo punya anak nanti mau berapa?" Somi memperhatikan gue sambil terus mengunyah.

"Se———"

"Sebelas." Potong Sehun langsung. "Biar bisa bikin tim sepakbola juga."

Pengin gue tepok itu mulutnya si bihun. Suka sembarangan sih kalo ngomong. Dipikir ngurus anak orang kek ngurus anak curut.

"Sedikasihnya Somi." kata gue membenarkan.

"Kalo dikasihnya sebelas, gimana yang?" Sehun nanya ke gue.

Gue melotot. "Kalo gitu biar lo aja yang ngelahirin. Gue cari duit."

Sehun dan Somi ketawa ngakak.

"Cari duit itu kewajiban suami, memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan anak istri itu tugas suami. Kamu ya ngurus anak anak kita," Jelas Sehun.

"Ya ya," Balas gue lalu memasukan telur bulat bulat ke mulut gue.

"Yaudah, makan yang banyak. Sebentar lagi aku yang bakal makan kamu." Sehun mengeluarkan senyum miringnya.

Anjirlah.

Merinding gue.

"Ngomong apa sih, ada Somi juga."

Sehun malah ketawa lagi. Asem.

Setelah setengah jam berlalu, kita semua selesai makan. Gue pun mengantar Somi ke kamar untuk mandi dan balik lagi ke dapur.

Gue lihat Sehun lagi beresin piring bekas makan tadi.

"Udah biar gue aja," Gue mengambil alih piring-piring itu. Tapi keburu dicegat Sehun.

"Enggak usah sayang, kamu duduk aja. Biar saya yang beresin."

"Apaan sih, sok romantis banget." Gue tertawa. "Sini gue aja, hun."

"Yaudah kalo gitu kita bareng-bareng beresinnya. Aku yang bilas, kamu cuci."

Omongan dia pun gue iyain.

Dan ya begitulah, gue yang cuci piring, dia yang bilas. Tentunya dibumbui dengan godaan godaan manis, menusuk kalbu gue. Sialan.

"Saya pikir kamu nggak bisa masak," Kata Sehun.

"Bisa, cuma nggak semua masakan. Kenapa emang?"

"Ya Nggak apa apa. Soalnya muka kamu enggak ada muka muka bumbu."

"Muka-muka bumbu? Maksudnya?" Gue menoleh ke Sehun.

"Iya. Orang yang suka masak tuh biasanya keliatan."

"Keliatan apaan sih hun?!"

"Kalo senyum, pedas. Ngga kaya kamu, kalo senyum manis semua."

Gue menghentikan aksi usap mengusap piring.

"Apaan sih!"

Sehun terkekeh.

"Kalo kamu mau ketawa, ketawa aja. Jangan ditahan tahan, gemesin tau." kata Sehun lagi.

Akhirnya lepas pertahanan iman gue, senyuman gue mendesak untuk keluar. Dan tentunya pipi gue mendadak merah kek abis ditamparin pake sendal.

"Saya sayang kamu," Sehun berbisik di telinga gue.

"Tapi gue enggak." balas gue

"Yakin enggak?"

Gue ngangguk, "Yes."

"Masa?"

"Iya."

"Yakin."

"Ho'oh,"

"Coba liat saya sini," Kata Sehun.

Gue yang sembarangan nengok pun enggak kepikiran kalo Sehun bakal lakuin hal ini.

CUP...

DIA NYIUM BIBIR GUE WOI.

BIBIR GUE DICIUM

Langsung aja kan gue melotot.

"Sehun!!"

Sehun nyengir, "Apa? Katanya nggak sayang, kok mau saya cium?"

Gue mendecih, "Ya mana gue tau lo mau nyium. Kalo tau mah udah gue tabok duluan bibir lo."

"Ya ampun sayang, galak amat kaya singa."

"Emang singa gue mah. Minggir lo, gue makan ntar."

Sehun tertawa ngakak.

"Yaudah iya. Saya mau meriksa berkas dulu bentar."

"Iya." Kata gue.

"Kamu nanti langsung tidur aja ya, nggak usah tungguin aku." Perintah Sehun.

"Siapa juga yang mau nungguin lo, gue mah tidur tinggal tidur."

Sehun mengusap kepala gue sebelum pergi.

"Dasar singa gemesin."

Selepas dia pergi, gue terkekeh. Cengar cengir kek orang gila, memegang bibir gue spontan tanpa sadar kalo busa cucian piring masih menempel di tangan gue.

Akkkhhhhhh pen ngejerit gueee!!!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perfect Husband ✔ OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang