6- Pacaran?

222 21 2
                                    

Setelah menempuh jarak lumayan lama, akhirnya Aku dan juga Kevin sampai ke tempat makan yang agak asing untuk ku. Kami berdua memilih menggunakan taxi online karena hanya itulah satu-satunya cara Aku dan Kevin bisa sampai di tempat ini. Aku memincingkan mata ku sekilas ke arah laki-laki di sebelah ku ini, kali ini aku tidak mau tertipu dengan tempat makan yang akan aku dan Kevin kunjungi ini. Terakhir dia mengajak ku makan, Ia hanya numpang parkir di restoran mahal itu.

Tapi, semua pikiran negatif ku lenyap seketika ketika laki-laki itu benar-benar melangkahkan kakinya ke arah pintu masuk sebuah restoran yang aku rasa cukup mahal jika dilihat dari penampilan luar restoran ini. Aku menarik tangan Kevin dengan cepat sembari berbisik "Lo nggak punya niatan ngerjain gue buat makan di sini, terus ujung-ujungnya Lo suruh gue bayar kan?" Suara ku sebisa mungkin aku kecilkan karena tidak enak jika didengar oleh orang lain. Kalau dugaan ku benar, akan aku habisi Kevin sekarang juga.

Laki-laki itu hanya menaikan alisnya lalu buru-buru melangkahkan kakinya ke salah satu meja yang telah disediakan. Aku yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan kelakuan dia mau tidak mau harus mengikuti ke arah laki-laki itu melangkahkan kakinya.

"Vinn..." panggil ku lagi, kalii ini dengan nada yang menuntut penjelasan.

"Gue yang bayar Ta, selo aja" ucapnya dengan enteng. Sialan aku tidak tahu dia sekarang sudah berubah, jiwa kesombongannya sudah hidup lagi, oh dan juga gaya bicaranya sudah kembali lagi menurut ku.

"Serius Vin, ini pasti mahal-mahal kan" Ucap ku lagi dengan melihat-lihat list menu yang telah di sediakan di atas meja. Sesekali aku membulatkan mata ku karena sesuai dugaan ku, harganya tidak sesui sekali dengan harga-harga di tempat makan yang biasa Kevin dan Aku kunjungi. Laki-laki itu gila karena telah mengajak ku untuk ke sini.

"Makanya Lo jangan pesan yang mahal-mahal Ta. Kali ini gue yang bayarin"

"Terus kenapa Lo ajak Gue ke sini?" tanya ku dengan penuh selidik

"Kan gue udah janji sama Lo, kalau gue menang gue mau traktir lo. Hitung-hitung buat ngerayain hari jadian kita"

Aku memalingkan wajah ku, tidak berani sama sekali menatap ke arah laki-laki dihadapan ku ini, bisa-bisanya dia membawa topik yang menurutku ini bukan waktu yang tepat untuk menyinggung hal demikian

"Vin...."

"Ta, kalau lo masih takut, nggak apa-apa kok. Gue nggak bisa maksa, cuman yang lo harus tau itu, gue benar-benar serius Ta. Gue serius mau jalanin ini bareng-bareng sama Lo" lagi-lagi Kevin berbicara dengan mantap. Ku beranikan menatap mata laki-laki dihadapan ku, sejak kapan laki-laki ini bisa berbicara selayaknya orang dewasa? Apakah aku terlalu fokus ke hal-hal konyol yg laki-laki ini lakukan tanpa menyadari jika dia kini sudah tumbuh menjadi sosok laki-laki dewasa.

"Vin, kita bukan seperti anak remaja yang lainnya. Kita nggak bisa bebas, waktu kita dikekang. Kita nggak bisa seperti anak remaja lainnya yang tiap pulang sekolah bisa kencan, yang tiap malam bisa chatan sampai larut malam, yang tiap hari bisa selalu bareng. Kita selalu di atur, Gue nggak mau bikin lo nggak fokus sama tujuan awal mimpi lo" dengan mengerahkan segala akal sehat ku, aku mencoba memberi pengertian pada Kevin, jika memang kami tidak bisa begitu saja menjalani sebuah hubungan.

"Gue tau, perbedaan di antara kita, kewajiban kita, hal-hal yang membatasi kita pasti bikin lo nggak mudah memulai hubungan sama gue. Tapi balik lagi Ta, gue mau punya seseorang yang bisa gue ceritain tentang lelahnya latihan, senangnya bisa juara, nyemangatin gue. Walaupun selama ini lo selalu jadi orang itu, tapi gue mau memperjelas semuanya Ta, gue mau lo yang bisa gue ceritain segalanya, yang bisa gue jadiin tempat untuk pulang di setiap lelahnya gue, dan gue juga mau lo jadiin gue sebaliknya Ta"

Aku terdiam, tentu saja tanpa suara. Meresapi semua makna dari kata-kata yang laki-laki di hadapan ku ini ucapkan. Terlalu jauh, laki-laki ini terlalu jauh mengerti semua tentang diriku. Sejak awal, ada banyak hal yang selalu aku khawatirkan saat rasa tak biasa itu muncul, perbedaan di antara kami, kewajiban kami dan hal-hal yang membatasi kami selalu saja membuat aku takut untuk maju satu langkah.

"Gue nggak tau sampai kapan kata kita jalani dulu itu bisa bertahan, tapi,ayo kita coba!" dengan sekali tarikan nafas, aku menjawabnya dengan hal demikian, jawaban yang sedari kemarin aku bimbangi, jawaban yang mungkin kevin dan juga aku inginkan, atapun mungkin semesta juga ingin. Yang jelas, sepersekian detik setelah kata-kata itu lolos dari mulutku ekspresi laki-laki dihadapan ku ini sungguh lucu. Bahkan dia tidak bisa menyembunyikan seberapa terkejutnya dia.

"Vinnnn....?" aku mencoba menyadarkan Kevin dari ekspresi konyolnya, apakah laki-laki ini tidak sadar jika dia sekarang sedang ada di tempat umum?

"Beneran kan Ta? Kamu jangan bercanda gitu Ta, Aku benar-benar serius ini"

"Iyaaa Empinnn gue seriuss. Ayo kita coba"

Kevin masih membulatkan matanya, sesekali mengedipkan matanya dengan ekspresi wajah yang melongo, lucu sekali aku pikir.

Laki-laki itu tersenyum, menarik ujung bibirnya untuk tersenyum kemudian menatap ku dengan ekspresi penuh binar, "Kita coba apa? Coba bilang sekali lagi" ucapnya dengan nada memohon.

Aku tahu, laki-laki ini pasti sedang menggoda ku. Tapi lihatlah wajahnya, bahkan Ia masih tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya, bahkan mas-mas yang mengantarkan makanan pesanan kami pun ikut tersenyum aneh saat mengantar makanan di meja kami.

Aku berdehem sekilas, memperbaiki posisi duduk ku dan mengatur makanan kami, ku sodorkan makanan pesanan Kevin ke arahnya dan tidak berniat untuk memenuhi keinginannya tadi.

"Ta...." nampaknya laki-laki itu mulai merajuk. Dasar kekanakan sekali. Seharusnya aku memikirkan hal ini saat aku dengan sangat berani menyetujui ajakan berpacaran darinya.

"Apasih?? Maluu tauu" sahut ku dengan nada yang tak kalah merajuk.

Kevin dengan muka pasrah memilih untuk menyatap makanan yang telah ia pesan. Lalu aku juga mau tidak mau juga ikut makan.

Suasana hening untuk beberapa saat, baik aku dan juga Kevin sama-sama diam, menikmati makanan kami. Sesekali ku coba menatap Kevin, untuk memastikan laki-laki di hadapan ku ini tidak marah hanya karena aku tidak menuruti maunya.

"Vinnn...."

"Hmmm?"

"Kamu marah"

Hening. 1 detik, 2 detik, lalu di detik ke-3 tawa laki-laki itu pecah.

Aku bingung, tidak paham mengapa laki-laki yang ada di hadapan ku ini tiba-tiba tertawa. Tanpa sadar aku juga ikut tertawa, sedikit canggung.

"Kamu pikir aku bakalan marah cuman gara-gara tadi?" tanyanya disela-sela tawanya.

Aku mengangguk dengan polos, lalu Kevin kembali tertawa. Aku ikut tersenyum, demi tuhan dia sangat lucu saat tertawa.

"Terus kenapa kamu diam aja?" tanya ku

"Ta, kita lagi makan, kalau ngobrol nanti keselek. Lagian aku mau menikmati makanan di tempat mahal macam gini" Kevin kemudian menjawab pertanyaan ku dengan entang.

Laki-laki di hadapan ku ini benar-benar ajaib, bahkan aku tidak habis pikir kenapa aku bisa mengambil keputusan untuk menjadi pacarnya beberapa waktu lalu. Tapi, yang aku pikirkan sekarang, baik aku dan Kevin telah berani untuk mengambil jalan ini

Tbc

Helloooo I'm backkkkk. Maaf yaa guys aku ngilang. Maaf udah nunggu lama bgt buat lanjutan ceritanya. Semoga aku bisa lebih istiqomah nulisnya heheheh

Sampai jumpa di part selanjutnya, jangan lupa vote dan komen ya :)

Happy weekend 😉

Love, patience and pain (kevin sanjaya fanfic) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang