Orang-orang telah menutup pintu besi pertokoan mereka. Orang-orang meringkuk di lipatan selimut. Orang-orang menyepi dari jalanan, meramaikan rumah-rumah dengan kudapan hangat yang kiranya membuat tidur mereka pulas berkat kenyang.
Malam itu hujan. Tidak lebat, tidak pula hanya berupa rintik-rintik air yang orang masih bisa melaluinya dengan sukacita. Sedang-sedang saja. Tidak ada sambaran kilat dan tak ada pemadaman listrik serentak oleh kantor pusat.
Laki-laki itu masih berada di posisinya sejak dua jam belakangan. Sekilas orang melihatnya seperti sedang berteduh. Padahal dia memang hanya ingin di situ. Dia sedang tak mau diganggu.
Di sebelah pahanya, nampak bekas-bekas kulit bawang yang tidak sempat dibersihkan pemilik lapak sebab takut pulang kehujanan. Lalu di kiri, ada sebotol minuman milik lelaki itu. Botol minuman yang dia bawa. Di sebelah botol itu, ada botol lain yang lebih kecil. Seperti botol parasetamol, tapi bukan itu.
Dia tak menyentuh keduanya. Dia membiarkan mereka ada di sebelahnya, seolah menemani. Laki-laki itu menekuk lutut. Memeluk kakinya dalam-dalam. Mungkin dia juga kedinginan. Lalu dia menyandarkan tubuh pada dinding kotor di belakangnya.
Sembari mendengar bunyi jatuh air di genteng, laki-laki itu membuka sesi tanya jawab pada kekosongan. Ia menatap kosong yang ada di hadapannya. Walau satu dua orang terkadang lewat dengan kendaraan mereka, tetap saja dia tak bisa melihat mereka sebagai sesuatu yang ada.
Ke mana orang-orang di bumi?
Kenapa tak ada satupun yang mau melibatkan diri di hidupnya?
Apa tujuan dia berada di tempat aneh ini? Apakah dia hadir sebagai cerminan dari wujud manusia tak berguna?
Dia tidak hidup di sini setahun dua tahun lamanya. Dia ada di sini selama nyaris tiga puluh tahun. Dan tak pernah sedikitpun ia temui makna sungguhan tentang hidup.
Apa arti hidup? Untuk apa ia dikirim ke tempat yang tak memberinya apa-apa? Pernah suatu ketika dia ingin berubah jadi anjing saja. Lebih baik baginya karena seekor anjing memiliki banyak orang yang peduli. Tidak dengan dirinya. Dia lebih buruk dari sekadar anjing yang lidahnya menjulur sepanjang hari.
Laki-laki itu menengadah. Mencermati pinggiran genteng yang menyimpan genangan air sebelum jatuh ke tanah. Ia menunduk. Mengamati cekungan-cekungan tanah yang tercipta dari kucuran tetes hujan. Ia tak khayal serupa cekungan itu. Tak bergerak, tak mampu melawan, tapi dihantam terus-terusan.
Ponselnya yang ia simpan di saku celana berbunyi. Sebuah pemberitahuan dari media sosial miliknya. Ia sengaja tak menggubris. Didiamkannya benda itu. Sebab ia tahu seseorang sedang mencarinya di sana.
Dia kembali menerawang jauh. Ke masa-masa yang belum didatanginya. Besok, akan jadi apa dia? Lusa, bagaimana kehidupannya? Sepuluh tahun lagi, apakah keadaannya masih sama?
Jika dia tahu dunia tak menawarkan apa-apa untuknya, lalu untuk apalagi dia ada di sini? Bukankah menghitung mundur waktu kematian akan sia-sia jika tak ada yang dikerjakannya?
Lelaki itu menoleh pada botol kecil yang tak punya label khusus sebagai penanda. Lalu untuk kesekian kali diangkatnya botol itu ke udara, cairan di dalamnya beriak tatkala ia mengguncangkan badan sang botol.
Hanya butuh beberapa tetes cairan untuk membuat tenggorokannya terbakar tanpa tersulut api. Hanya butuh beberapa tegukan untuk memutus sistem kerja organ-organ dalam tubuhnya.
Juga hanya butuh beberapa keberanian untuk menenggak, menghabiskan tanpa sisa seperti dia biasa meminum sebotol anggur merah tatkala pikirannya gelisah.
Namun lelaki itu bergeming. Masih menimbang-nimbang. Mungkin juga sedang menghitung mundur sampai di angka berapa kenekatannya terkumpul.
Kepalanya berkutat kembali pada pertanyaan-pertanyaan tak terjawab tentang hidup. Ia menganalisa satu persatu.
Apa yang sekiranya berantakan jika orang seperti dia tidak pernah muncul lagi di dunia ini? Adakah yang kehilangan jika dia pergi? Mungkinkah kehidupan orang-orang akan lebih baik setelah dia tak di sini?
Bisa jadi.
Malah sangat mungkin terjadi.
Memang seberapa berartinya dia di dunia ini? Seperti dia punya arti saja.
Lelaki itu menggeser pantatnya. Melipir ke pinggiran dipan tempat lapak penjual bawang. Dia meraih lagi botol kecil yang belingnya gelap itu. Untuk kesekian kalinya dia menatap, mengguncang, lalu memejam bersama helaan napas yang terasa berat.
Dia pikir sekarang waktunya.
Dia rasa semesta sudah menyorakinya keras-keras untuk segera melakukan itu.
Besok pagi, takkan ada lagi pikiran tentang kasus komentar bodoh itu. Tak ada lagi nyinyiran Marni Dewi yang ia benci di tiap tarikan napasnya. Tak ada lagi makian pedas dari bos yang menganggapnya semacam bangkai berjalan. Juga tak ada lagi hinaan dari gadis itu, Sukma Puji, gadis yang ia cintai namun tak pernah menganggapnya ada di bumi.
Lelaki itu merasa mantap.
Sampai ketika....
"Tunggu apa lagi?"
Seorang perempuan berpakaian lusuh muncul dari balik pilar dengan ekspresi tak sabaran. Jika dia sedari tadi sudah jengah menunggu, lelaki itu bukan main justru terkejut.
<>
KAMU SEDANG MEMBACA
Luruh
RomanceDua puluh delapan tahun ia mengemban nyawa, tak pernah sekalipun ia menemukan apa yang menurutnya menarik dari sebuah kehidupan. Jika setiap orang memiliki peran sendiri-sendiri di semesta, dia justru menganggap dirinya sebagai kesia-siaan. Yang ma...