Satu-satunya yang terdengar di tempat itu adalah bunyi jatuh air milik penguasa langit. Walau tak sederas waktu yang lalu, namun masih mampu memecah keheningan malam itu. Walau tak lagi menciptakan banyak genangan, namun tetap saja membuat siapapun yang lewat berjingkat ketakutan.
Takut kebasahan. Takut tergelincir.
Jika harus ada yang hening, itu hanya terjadi pada bibir milik perempuan dan lelaki yang sedang menelaah satu sama lain lewat sorot mata masing-masing. Sementara mulut mereka bungkam, isi kepala mereka memproses banyak pertanyaan.
Perempuan berjaket lusuh, rok sebatas lutut, jepit merah menempel di rambut, lelaki itu tak mengenalinya. Bahkan tak pernah sekalipun ia pernah berkesempatan melihat wajah itu. Dia melirik ke bawah. Ke alas kaki yang digunakan sang perempuan. Sepatu yang sama lusuhnya dengan jaket serta kaus kaki tinggi sebelah. Untung masih satu warna. Lalu dia kembali menatap wajah si perempuan. Mencoba menebak apa maunya.
"Kau siapa?"
Pertanyaan itu terdengar dingin. Namun sama sekali tak menggoyahkan niat si perempuan untuk mundur dari tempatnya.
"Kenapa tidak jadi mati? Aku sudah menunggu dari tadi."
Nada bicara perempuan itu terlalu santai sampai si lelaki memicing saat mendengarnya.
"Tunggu sebentar, aku ambil ponselku! Aku mau mengabadikan proses kematianmu!" kata si perempuan sambil merogoh saku-saku jaketnya. "Ke mana ponselku? Kau melihatnya?"
Helaan napas kasar keluar dari mulut si lelaki. Apa ini? Siapa perempuan ini? Apa dia gila?
"Ah, aku baru ingat. Aku membuangnya tadi di jalan." ujar perempuan itu dengan ekspresi datar.
"Kenapa kubuang, ya?" lalu dalam beberapa detik setelahnya, si perempuan berubah menanyai dirinya sendiri.
Dan laki-laki itu mulai jengah.
"Lupakan soal ponsel. Itu bisa kita pikirkan nanti. Sekarang yang lebih penting, kau jadi tidak bunuh diri?" Perempuan itu bertanya lagi. Kali ini cukup semringah. Lalu mereka kembali diam, saling bertatapan.
"Jangan ikut campur urusanku, urus dirimu sendiri, perempuan gila." Jawab si lelaki. Dia lantas meraih botol anggur dan mengantongi botol kecil satunya. Berniat pergi dari sana.
"Kalau kau pergi untuk mencari tempat lain untuk bunuh diri, sialnya aku mau ikut!" Si perempuan mantap melangkah maju. Tersisa jarak satu meter di antara mereka.
"Jangan sok tahu urusan bunuh diri. Aku tidak sedang merencanakan itu." balas si lelaki, ketus.
"Oh, begitu? Lalu, botol apa yang kau masukkan ke sakumu? Bukankah sejenis cairan pembunuh?"
"Jangan sok tahu!"
"Ayolah! Aku melihatmu dengan jelas tadi! Kau melotot tak henti-henti pada botol kecil itu! Tapi kau tak kunjung meminumnya!"
"Terserah apa katamu!" sentak si lelaki sambil berjalan mundur. Di langkah ketiga, perempuan itu berseru padanya.
"Kalau kau mau cari tempat bunuh diri yang lain, aku akan ikut!"
"Kau mau sok mencegahku, heh!?"
"Tidak. Jangan percaya diri begitu! Aku hanya sedang bosan malam ini. Dan melihat seseorang mati, sepertinya menghibur!"
Lagi-lagi itu diucapkan tanpa sedikitpun rasa aneh. Membuat si laki-laki akhirnya menaruh curiga pada si perempuan.
"Apa maumu?"
"Melihat seseorang untuk pertama kalinya mati di depanku."
"Kau benar-benar berpikir itu akan menghibur?"
"Kenapa tidak?"
"Apa kau seorang psikopat?"
"Memangnya aku terlihat begitu?"
Laki-laki itu membuang muka. Tak habis pikir dia sedang memperdebatkan apa di hadapan perempuan yang bahkan tak dikenalinya.
"Kalau kau mati, mungkin aku jadi orang pertama yang akan menertawakanmu." Kalimat tersebut membuat si lelaki kembali memberi perhatiannya pada gadis itu.
"Apa maksudmu?" Si lelaki tersulut.
"Aku akan tertawa. Tahu, kan, tertawa? Begini. Hahahahaha!" Dia malah mencontohkannya.
"Kau tidak kenal siapa aku?" lelaki itu maju, semakin memangkas jarak pada si perempuan.
"Kau? Aku tidak kenal kau. Tapi aku tahu kau siapa!" senyum perempuan di depannya mengembang seketika. "Kau adalah si lemah yang memutuskan menyerah pada dunia yang kecil ini."
Pernyataan tersebut menohok keras-keras si lelaki tepat di ulu hati.
"Apa kau sudah bisa menebak? Siapa saja yang akan terluka saat kau mati nanti?" tanya si perempuan dengan tatapan yang tak lepas dari laki-laki di depannya.
"Tidak ada, bukan?"
Jika si lelaki nyaris naik darah saat mendengarnya, si perempuan justru tertawa kencang-kencang seolah itu lelucon paling hebat di dunia. Dia tahu saja, tipikal orang-orang yang memutuskan bunuh diri tidak pernah jauh dari alasan tak ada lagi yang memedulikan mereka.
"Menurutmu itu lucu?" hardik si lelaki. Sejauh ini dia masih berupaya menahan amarahnya.
"Bukankah itu lucu? Selama hidup, orang-orang tidak mempedulikanmu. Saat kau mati, orang-orang masih tidak mempedulikanmu!" cetus perempuan itu tanpa ragu seseorang di hadapannya akan terganggu.
Meski lelaki itu ingin sekali menguliti si perempuan, di sisi lain ia jadi memikirkan perkataannya. Perempuan itu walau terlihat sinting, tapi mengucapkan sesuatu yang benar. Dan yang lebih sinting, ia sedikit membenarkan kata-katanya.
Benar juga.
Hidup dan mati tanpa ada yang peduli adalah sebuah lelucon paling lucu yang pernah dia dengar di abad ini.
Sementara si lelaki terdiam cukup lama memikirkan itu, si perempuan justru memandang miris laki-laki di depannya. Ia menilik lebih cermat. Rambut gondrong acak-acakan, brewok dan kumis yang entah kapan terakhir dicukur, serta kaos pendek berlogo NASA di dada membuat ia tampak seperti seseorang yang gahar. Jauh dari yang dia kira, ternyata lelaki itu adalah lelaki pengecut yang terlalu mudah menyerahkan diri pada dunia.
"Kalau kau selalu mendapat pengabaian sepanjang hidupmu, jangan buat itu terjadi di hari kematianmu. Setidaknya kau harus membuat satu orang menangis saat kau pergi." ujar si perempuan setelah ia sadar lelaki itu tak meresponnya apa-apa.
Tanpa menunggu persetujuan, perempuan itu bergerak menarik lengan sang lelaki agar mengikutinya. Tentu saja lelaki itu terperangah.
"Kau mau apa?"
Si perempuan menghela napas, "Aku lapar. Ayo kita makan! Malam ini aku yang traktir. Uang hasil curianku banyak. Kau boleh memakainya sesuka hati. Hitung-hitung menikmati hari terakhirmu sebelum mati. Nanti, aku akan mengantarmu bunuh diri. Bagaimana?"
Lelaki itu semakin terperanjat mendengar si perempuan berujar. Bibirnya tidak lagi terkatup sempurna sebab terheran-heran. Demi apa pun yang ada di kepala kecil perempuan itu, dia harap tak ada yang mengantarnya lebih jauh ke dalam lembah kesialan.
>>
KAMU SEDANG MEMBACA
Luruh
RomanceDua puluh delapan tahun ia mengemban nyawa, tak pernah sekalipun ia menemukan apa yang menurutnya menarik dari sebuah kehidupan. Jika setiap orang memiliki peran sendiri-sendiri di semesta, dia justru menganggap dirinya sebagai kesia-siaan. Yang ma...