Cerita Tengah Malam

2.2K 368 37
                                    

Sekarang laki-laki berkulit cokelat itu kembali duduk di bangku panjang. Netra mereka masih saling menatap. Seperti tengah mengorek apa yang satu sama lain pikirkan lewat benda hitam legam yang bentuknya mirip biji kelengkeng, di bawah alis mereka.

Si perempuan lagi-lagi menyodorkan cincinnya pada sang lelaki. Kali ini ia hanya perlu menggesernya di atas meja. Tepat sejengkal dari telapak tangan laki-laki itu menelungkup.

Tak perlu menunggu lama, tangan besar lelaki itu langsung meraihnya. Biar begitu, pandangannya masih berporos di sudut yang sama. Tak berubah sedikitpun dari mata sayu si perempuan.

"Bagus, bukan? Asal kau tahu saja, harganya setara harga dirimu!" kekeh perempuan itu tanpa ragu-ragu. Bersamaan dengan itu, si lelaki jadi mengamati cincin yang ada di tangannya.

"Kalau tahu mahal, kenapa kau beri pada orang?" selidik lelaki itu, penasaran.

"Karena aku tak tahu lagi mau diapakan." Perempuan itu menjawab dengan gaya yang lelaki itu mulai hapal. Santai dan tak masuk akal.

"Kau bisa menjualnya. Bisa kau pakai untuk membeli banyak baju-baju bagus," ujar lelaki itu sembari menilik sinis penampilan si perempuan. Apa dia benar-benar tak tahu caranya membelanjakan uang?

"Aku tak butuh baju-baju bagus. Itu membuatku terlihat seperti orang-orang kebanyakan!" perempuan itu mengambil gelas, mengisi dengan air, lalu menenggak dengan tak sabar. Tumpahan air dari corong gelas terjun lewat ujung bibirnya sampai ke jaket.

Dan lelaki di hadapannya memicing. Heran bukan main.

"Di mana kau dapat benda ini? Kau mencurinya?" tanya lelaki itu jutaan kali lipat ingin tahu.

"Aku tak mencurinya. Yang kucuri hanya uang-uang ini," kata si perempuan sambil melirik lembar-lembar uang kertas yang masih rebah di atas meja.

"Lalu cincin ini?"

"Seseorang memberinya padaku sebagai bentuk hasil jual." kata perempuan itu yang kemudian menuang air lagi.

"Hasil jual apa?"

"Hasil jual tubuh manusia."

Lelaki itu terhenyak. Apa maksudnya? Ia masih tak habis pikir dengan perempuan itu terlebih jawaban-jawaban yang keluar dari mulut merahnya. Apa itu sesuatu yang benar?

"Maksudmu?" lelaki itu memastikan fungsi pendengarannya.

"Itu adalah hasil jual tubuh manusia. Ada diri manusia yang ditukar dengan cincin itu." Perempuan itu kini berbisik seolah membicarakan sebuah rahasia. Tingkahnya itu justru membuat si lelaki makin sulit membedakan mana jawaban ngawur dan mana yang tidak.

"Tubuh manusia siapa yang dijual? Kau... membunuh orang?" lelaki itu dengan hati-hati bertanya. Ia meneguk ludah. Entah kenapa mulai merasa tak nyaman.

"Aku tidak membunuh siapapun." Perempuan itu mengelak.

"Lantas tubuh siapa yang dijual?" sentak lelaki itu, kali ini jantungnya berdegup bertalu-talu.

Keduanya diam untuk beberapa saat.

"Tubuhku." Perempuan itu menjawab sambil menatap nyalang mata si lelaki.

LuruhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang