Ia tak diberi jawaban.
"Permisi. Apa tempat ini butuh pekerja tambahan?" Arion mengulang pertanyaannya sekali lagi, dengan intonasi yang ditambah tinggi. Kepalanya celingukan mencari siapa yang punya naluri menjawab pertanyaan itu.
Sekitar tiga meter dari kakinya, seorang laki-laki tiga puluh tahunan berdiri, namun tak memperhatikan. Ia sibuk mengomandoi para pengangkut karung sambil sesekali mencatat sesuatu pada selembar kertas kecil. Menyadari tak digubris, Arion mendekat agar lelaki itu sadar akan kehadirannya.
"Pak, apa tempat ini..."
"Ah, sudah-sudah. Lagi sibuk ya, lagi sibuk. Nanti saja!" Begitu cepat laki-laki tersebut menepis Arion dengan tangannya. Ia masih fokus pada karung yang diangkat para pekerja. Seolah berpaling sedikit saja, karung-karung itu akan kehilangan jumlahnya.
"Saya belum bicara!" Arion menyela. Lagi-lagi ia berusaha memposisikan dirinya agar mendapat atensi lelaki itu.
"Sudah-sudah! Saya sedang sibuk. Besok lagi datangnya! Oi Ramli! Jangan di situuu! Tumpuk di tempat lain! Kau mau ganti rugi kalau karungnya pecah?! Hah!?"
Sang empu toko seperti tak peduli pada Arion. Atau memang sebenarnya tak mau peduli dengan siapa pun selain pekerjanya untuk waktu sekarang. Ia menempatkan Arion bak seonggok sampah di pojokan toko.
Sasi yang melihat dari jauh hanya menghela napas. Ia baru akan memanggil Arion untuk pergi, namun laki-laki itu malah berdiri di tengah-tengah lalu lalang para buruh yang sedang mengangkut barang.
"Hei! Sedang apa kau? Minggir! Kau menghalangi orang!" teriak laki-laki pemilik toko. Raut mukanya nampak geram dengan Arion.
Sedangkan yang dibentak hanya diam di tempat sambil menatap lurus ke wajah orang yang bahkan tak memberi senyum padanya saat datang itu. Ia lantas membiarkan dirinya didorong hingga keluar toko, tanpa mengucap sepatah kata pun.
Ia juga mendengar pemilik toko berbisik menghinanya.
Sasi mendekat ke arah Arion, lalu mengisyaratkan agar mereka enyah dari sana. Sebelum keduanya jauh melangkah, Arion menendang salah satu bak sampah besar di depan toko dan membiarkan isinya terberai. Aksinya itu membuat dia dan Sasi diteriaki para buruh dan pemilik toko.
Mereka terus berjalan. Tanpa ada percakapan mengenai gagalnya usaha pertama mereka menemukan tempat penghasil uang. Di tempat selanjutnya, Arion menghadap pemilik toko beras. Namun hasilnya tak juga membuat dia mendapat pekerjaan yang pantas.
Matahari hampir sepenuhnya naik. Udara segar pagi mulai bercampur asap kendaraan yang macam-macam jenisnya. Arion baru saja mencoba bertanya pada pemilik toko elektronik, tapi ia malah diusir bak gelandangan.
Ia lelah. Mungkin sedikit lagi akan berteriak mengangkat-angkat tangan minta menyerah macam orang gila. Di sisi lain, Sasi menyikapi hal itu dengan biasa saja.
"Biar ganti aku saja yang bertanya," ucapnya pada Arion. Raut lelaki di sebelahnya menunjukkan jika ia malas membahas penolakan-penolakan itu.
"Hidup terlalu kejam, Sasi." Arion memicing tajam, lalu menoleh. "Ia tak pernah membiarkanmu hidup senang."
"Aku tidak mengandalkan hidup untuk membuatku senang. Aku mengandalkan diriku sendiri." balas gadis berambut gelombang tersebut.
"Kau terlalu menyepelekan sesuatu yang bisa menghancurkanmu kapan saja," Arion mengintimidasi.
"Aku juga punya kekuatan untuk menghancurkan hidup," Sasi tak mau kalah. "Aku bisa menghancurkan hidup siapa pun. Termasuk hidupku sendiri."
Arion mendengkus.
"Hei, dengar. Apa pun yang terjadi di hidup kita, kita yang menentukan. Jangan biarkan siapa pun memiliki kendali atas itu," Sasi menambah kecepatan langkahnya agar ia bisa mengucapkan itu di depan wajah Arion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luruh
RomanceDua puluh delapan tahun ia mengemban nyawa, tak pernah sekalipun ia menemukan apa yang menurutnya menarik dari sebuah kehidupan. Jika setiap orang memiliki peran sendiri-sendiri di semesta, dia justru menganggap dirinya sebagai kesia-siaan. Yang ma...