Melawan Penguasa

1.6K 220 14
                                    

Dua pasang kaki itu masih berjalan beriringan. Jarak dua meter di antara tubuh mereka tidak di isi oleh apa-apa. Tidak dengan percakapan basa-basi atau yang paling penting sekalipun. Jika Arion lebih fokus melangkah, Sasi hanya mengikuti sambil mengamati sekeliling.

Gadis itu tampak antusias oleh apa yang mereka lewati sepanjang jalan. Sembari menyilangkan tangan di belakang, dia berjingkat melihat rumah-rumah kecil berdempetan yang nyaris memenuhi jalan. Betapa pemandangan itu tak pernah dilihatnya. Baik saat ia masih ada di kota yang lama. Apa mungkin orang-orang di sini tak tertarik punya halaman?

Berbeda dengan Sasi, Arion justru muak menatap sekitar. Kalau bisa lewat jalan lain, ia akan pilih opsi itu. Kalau bisa tak tinggal di daerah sini, ia sudah pasti pergi dari dulu. Tapi arah pulangnya tak pernah berubah. Sebab memang hanya rumah itu satu-satunya yang ia punya.

"Siapa perempuan tadi?" tanya Sasi ketika ia teringat pada wanita yang meneriaki mereka sesaat lalu. Ia menyeimbangkan jalannya agar bersisian dengan Arion.

Lelaki itu tak menjawab. Mulutnya seperti enggan membahas hal-hal yang berkaitan dengan Marni Dewi. Ia kini lebih sibuk memikirkan kesempatan lain untuk mengambil barang-barang Sasi. Karena bagaimanapun juga, ia masih penasaran. Sial pagi datang begitu cepat.

"Kenapa diam?"

Sasi pindah ke sisi Arion yang lain. Barangkali sebelah telinganya tuli.

"Kau bilang itu rumahmu. Tapi kenapa dia bersikap seolah itu rumahnya? Apa sebenarnya itu rumahnya, lalu kau hanya menumpang?" Sasi mencerocos.

"Bukan urusanmu!" hardik Arion dengan masih terus melangkah.

"Hey! Tentu jadi urusanku! Aku menukar cincinku demi rumah itu!"

"Itu memang rumahku!"

"Terus mengapa dia menyuruhmu membayar?"

"Itu hanya taktiknya saja agar aku pergi."

"Kenapa kau harus pergi dari rumahmu?" Sasi semakin butuh jawaban. Ia memperpanjang jangkauan kakinya agar tidak tertinggal Arion yang begitu cepat.

"Supaya dia bisa memiliki rumah itu dengan utuh."

"Kenapa dia ingin rumahmu?"

"Sebenarnya itu memang rumahnya."

"Hah?" Sasi melongo tak percaya. Ia bingung ke mana arah pertanyaannya sekarang.

"Dia membiarkanku tinggal di sana karena memiliki hutang budi pada ayahku." Arion tanpa sadar membeberkan. Ia merasa itu bukan sesuatu yang harus ditutup-tutupi.

"Wow! Memangnya ayahmu melakukan apa?" Sasi tertarik.

Arion berhenti sejenak sambil menatap Sasi yang tampak penasaran. "Bukan urusanmu."

"Aku mau jadi urusanku!"

"Entahlah. Yang kudengar, dulu ayahku pernah menolongnya saat datang ke kota ini." Arion menjawab malas setelah sebelumnya mendengkus keras.

"Di mana ayahmu sekarang?"

"Neraka mungkin." Laki-laki itu kembali berlalu.

"Ah, kau ternyata membenci ayahmu." Sasi mengikutinya lagi.

"Tidak. Memang benar dia di neraka. Seseorang memberitahuku."

"Siapa? Malaikat maut?" Sasi ingin tertawa.

"Penjaga makam," ekspresi Arion tetap datar bahkan saat mengatakan itu. "Katanya dalam sekali waktu, ia pernah melihat kuburan ayahku bergetar. Seperti gempa lokal."

"Tunggu, ayahmu benar-benar sudah mati? Aku kira kau cuma bercanda soal neraka!" Sasi terhenyak.

Arion melirik gadis itu sesaat, lalu berdecak. Sasi yang masih bingung mencerna perkataan lelaki brewok di depannya sibuk menganalisa di dalam kepala.

LuruhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang