Kedua tangan Arion mengepal memandangi mereka. Urat-urat hijau mengakar di pergelangan tangannya. Emosi lelaki itu nyaris mencapai angka sepuluh. Kalau bukan sebab kalah jumlah, ia pasti sudah lari menerjang sang penguasa itu sendirian.
Kini kakinya justru tak kuasa mengangkat tubuh tinggi itu melangkah. Ia hanya terpaku memandang orang-orang tersebut di kejauhan. Tentu ia tak ingin mati hari ini. Atau menjadi bonyok berkat ayunan tangan kekar ajudan mereka.
Di sampingnya Sasi juga ikut bergeming. Sesaat rasa cemas yang menjalari tubuh Arion menular padanya. Bagaimana juga, ia tak akan membiarkan orang-orang itu mengambil lelaki di sebelahnya kini. Pada siapa dia nanti akan bersembunyi dari kejaran Randu Respati?
"Ow...ow," lirih Sasi. Ia memegang pundak Arion dan mundur selangkah. "Mereka lebih cepat dari yang kita kira."
Yang sedang menjadi incaran tak mengucap apa-apa. Ia kini malah berencana pergi dari situ. Menunggu mereka pergi untuk kemudian mengambil barang-barang di rumahnya. Sebenarnya ia tak terlalu peduli dengan apa yang ia punya di rumah jelek itu. Tapi cincinnya. Cincin berlian Sasi masih tertinggal di sana. Tadi pagi ia meletakkannya di ventilasi pintu kamar.
"Sepertinya kali ini aku tidak ikut-ikutan." cetus Sasi. Serta merta Arion menoleh padanya dengan alis yang bertaut.
"Maksudmu?"
"Aku tak ingin ikut pada masalah yang kau ciptakan." Sasi menyengir getir.
"Lalu?"
"Hmm, begini. Kurasa pertemuan kita cukup sampai di sini saja." Dengan hati-hati gadis itu bicara.
"Kau mau melarikan diri?" Hardik Arion dengan tatapan tidak terima.
"Melarikan diri dari apa? Aku tidak membuat masalah?"
"Tapi ini namanya kau melarikan diri!" Bukan tanpa alasan jika Arion tampak marah pada keputusan Sasi. Sebab jika Sasi pergi sekarang, sudah dipastikan bahwa ia akan kehilangan barang-barang berharga lain yang mungkin masih dibawa gadis itu.
"Kau yang membuat masalah. Sudah sepantasnya kau sendiri yang membereskan itu!" Sasi justru semakin garang. Seolah-olah dia sedang menegakkan pendiriannya.
"Hah?!" Arion memicing tak habis pikir. Kedua tangannya terangkat ke udara dengan gestur meminta penjelasan lebih.
"Selamat tinggal! Semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi!" ujar Sasi sembari berjalan mundur. Ia berdadah-dadah sebentar sebelum kemudian berlarian kecil meninggalkan Arion.
Ditatapnya punggung gadis yang perlahan mengecil di ujung jalan itu. Jauh di palung hatinya Arion ingin memohon agar gadis itu tak pergi. Tapi ia tak pernah memohon pada gadis lain selain Sukma Puji. Dan itu bisa mencederai martabatnya. Biarlah. Biarlah gadis itu pergi darinya untuk sekarang ini. Nanti, setelah ia menyelesaikan urusan dengan cecunguk busuk itu dan mengambil berliannya kembali, ia akan pergi mencari Sasi. Ia tahu betul, Sasi hanyalah pendatang yang belum tahu seluk beluk kota. Pastilah mudah menemukannya.
Akhirnya Arion juga bergegas dari sana dengan perasaan kesal. Ia pergi ke selatan menyusuri jalanan kecil perkampungan. Setiap bertemu ujung jalan, ia akan berbelok ke kiri. Jalan terus melewati ramainya anak kecil yang berlari mengejar satu sama lain. Hingga berhenti di sebuah pos siskamling yang penuh sampah kulit kuaci. Mungkin jadi cemilan warga sekitar saat melakukan ronda malam tadi.
Ia merebahkan diri. Mulai memejamkan mata meski tak ada hal menarik yang ia lihat di kegelapan sana. Disilangkannya kaki yang penuh bulu keriting itu lebih tinggi dari kepala. Ia kini lebih tampak seperti sedang bersantai di pinggiran Nusa Dua.
Padahal hari terbilang masih pagi. Matahari bahkan baru naik ke singgasana. Pedagang bubur malah masih menjajakkan dagangan di sudut-sudut tempat. Sebab tak ada orang normal yang makan bubur di siang hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luruh
RomanceDua puluh delapan tahun ia mengemban nyawa, tak pernah sekalipun ia menemukan apa yang menurutnya menarik dari sebuah kehidupan. Jika setiap orang memiliki peran sendiri-sendiri di semesta, dia justru menganggap dirinya sebagai kesia-siaan. Yang ma...