Lamat-lamat aroma masakan cina tercium dari hidung bangir si lelaki. Suara hiruk pikuk jalanan juga terdengar samar dari telinganya. Jauh dari tempat mereka menjadi tontonan puluhan orang beberapa saat lalu, kini mereka hanya menjadi penonton untuk diri mereka sendiri. Kini orang-orang itu cuma jadi penonton untuk satu dan yang lainnya. Jika ada selain mereka, paling-paling itu hanyalah tikus kecil di sudut-sudut bak sampah.
Mereka kini ada di sebuah lorong gelap antara rumah makan cina dan ruko pakan ternak. Tak ada satu pun yang lewat di lorong itu. Hanya mereka. Mereka yang kembali bersama setelah sebelumnya memutuskan untuk hidup sendiri-sendiri.
"Jadi bagaimana? Rencanamu berhasil?" Pertanyaan si lelaki cenderung retorika. Sebab ia sebenarnya adalah jawaban atas itu semua.
"Yeah, kupikir begitu. Kau sekarang sudah bebas," jawab Sasi terengah-engah. Ia bersedekap sambil menyandar pada tembok. Ekspresi wajahnya tak terlihat punya beban.
"Ceritakan! Ceritakan padaku kenapa kau sampai punya ide gila seperti itu," Arion menodong. Ia menatap Sasi tajam dengan napas yang tinggal satu-satu. Begitu ingin tahu siapa yang sedang dihadapinya sekarang. Apakah Sasi semacam anggota perserikatan musuh negara? Bukan apa-apa, sikap manipulatifnya cukup membuat ia kelimpungan.
"Aku hanya berpikir bagaimana cara membebaskanmu. Lalu rencana itu muncul begitu saja," tukas Sasi. Tak mengubah seinci pun posisinya di hadapan Arion.
"Lantas kenapa ada Marni Dewi di sana? Apa yang kau katakan padanya?" Arion sungguh penasaran atas hal itu.
"Oh," bibir Sasi mengerucut, seolah menyepelekan rasa bingung lelaki yang beberapa jam lalu ia tolong itu. "Aku hanya bicara padanya soal kebodohan yang kau buat."
"Lalu?" Kening Arion berkerut. Ia setengah mati ingin tahu.
"Aku memintanya ikut ke dalam rencanaku."
"Dia mau?"
"Ya! Dia setuju."
"Oh, ya wow bagus sekali. Pasti kau ingin aku membayangkan Marni Dewi yang menyebalkan mau-mau saja melakukan apa pun yang kau suruh. Kau pikir aku percaya itu?" Arion maju untuk menegaskan omongannya.
"Tapi dia sungguhan menurut padaku." Sasi membantah ketidakpercayaan Arion.
"Kau apakan dia?"
"Aku cuma memanfaatkan rasa bencinya padamu."
"Maksudnya?"
"Kau bilang dia ingin kau pergi dari rumah itu, jadi ya sudah. Kujadikan itu imbalan agar dia mau ikut rencanaku." Sasi berterus terang sembari tersenyum simpul.
"Maksudmu?" Arion ingin memperjelas.
"Sudahlah. Kupikir kau juga tidak betah lagi ada di sana. Aku pun sama. Rumah itu pengap!" Sasi mengangguk-angguk meyakinkan.
"Jadi aku tak punya hak apa pun lagi atas rumah itu? Jadi sekarang rumah itu sudah sepenuhnya milik Marni Dewi?" Arion mulai berang.
Sasi mengangguk lagi.
"Tapi itu rumahku! Rumah ayahku!" Arion masih tak percaya jika dia tidak akan kembali lagi ke rumah masa kecilnya.
"Hey! Tapi hanya dengan itu Marni Dewi setuju! Kubilang padanya jika dia membelamu, maka kau akan pergi selama-lamanya dari rumah itu. Lagi pula jika kau tertangkap si penguasa itu, kau juga tak akan bisa pulang. Sama saja bukan?" Sasi menjelaskan dengan begitu geram.
Sementara tubuh Arion merosot jatuh ke tanah. Ia berjongkok dan membiarkan lengannya menjuntai bertumpu pada lutut. Dan meski pandangan lelaki itu kosong, ia merasakan rasa yang cukup berat di kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luruh
RomanceDua puluh delapan tahun ia mengemban nyawa, tak pernah sekalipun ia menemukan apa yang menurutnya menarik dari sebuah kehidupan. Jika setiap orang memiliki peran sendiri-sendiri di semesta, dia justru menganggap dirinya sebagai kesia-siaan. Yang ma...