Mereka duduk di bangku paling belakang di dalam bus yang berisi sedikit penumpang. Pak supir yang ada di bangku depan, kondektur tua di ambang pintu, empat perempuan di bangku tengah, dan sisanya hanya mereka. Dan meski bangku-bangku bus itu belum terisi sepenuhnya, sopir bus memutuskan untuk tetap melaju.
Selayaknya bus tua yang tak punya pendingin udara, Sasi mulai sedikit kepanasan dan berkeringat. Dibukanya jaket yang ia pakai hingga kini tersisa baju dalamannya saja. Ia pun berusaha menarik salah satu jendela bus. Namun upayanya gagal karena ternyata engselnya sudah berkarat.
Arion yang melihat gadis itu dengan baju tanpa lengan hanya diam. Sekilas ia sadar jika ia terlalu lama melihat ke arah Sasi. Ia lalu memalingkan muka ke sisi jalanan sambil mengingat-ingat tempat pemberhentiannya.
"Apa rumah temanmu jauh dari sini?" Sasi membuyarkan lamunan Arion sekaligus memecah keheningan antara mereka.
"Tidak. Cuma lima belas menit." Jawabnya pada gadis itu. Ia menoleh. Mendapati Sasi yang hanya ber-oh sembari menatap rumah-rumah di tepi jalan.
Rambut gadis itu sedikit berantakan menutupi wajah. Perlukah Arion membawanya ke belakang telinga?
Yang benar saja.
"Aku tidak percaya orang sepertimu punya pekerjaan," Sasi tampak memulai percakapan. "Tadinya aku hanya menebak."
Arion menggumam.
"Ceritakan padaku tentang pekerjaanmu!" celoteh Sasi ingin tahu. Ia lantas menyerongkan posisi duduknya.
"Tidak menarik."
"Apanya?"
"Semuanya." balas Arion acuh tak acuh.
"Pekerjaan memang tak ada yang menarik. Semua orang ingin punya uang tanpa bekerja. Aku juga begitu." Sasi terkekeh sendiri.
Arion menoleh padanya lagi. Saat gadis itu justru menatap yang lain.
"Aku hanya terpaksa bekerja di sana," perlahan Arion mulai bercerita. Ia pikir tak ada gunanya juga menyimpan cerita itu sendirian.
"Kau menandatangani kontrak?" Sasi berspekulasi.
"Semacam itu. Tapi bukan kontrak. Lebih seperti kesepakatan," tukas Arion.
"Kesepakatan apa?"
"Jika aku berhasil membuat lawan bisnisnya bangkrut, aku akan bekerja di sana." Arion mengingat masa-masa ketika ia dibodohi Ibrahim Sakjad. Di mana ia malah harus mengorbankan hidupnya demi keserakahan orang itu. Di mana ia harus menjadi bulan-bulanan seorang kriminal untuk waktu yang lama.
"Kau... melakukannya?" Sasi tertegun.
"Aku cukup bodoh untuk melakukannya," Arion menatap Sasi tajam. Seolah ingin menunjukkan pada gadis itu betapa menyedihkannya ia.
"Lalu apa yang terjadi?" Sasi semakin mengorek memori di kepala Arion.
"Aku berakhir dengan..."
"SIMPANG LIMA?! SIMPANG LIMA!?" Suara serak kondektur mengalihkan fokus Arion. Ia kemudian tersadar jika itu adalah tempat di mana mereka seharusnya berhenti. Tangannya refleks memukul badan bus untuk memberi isyarat jika sopir bus harus menurunkannya saat itu juga.
Mereka berdua turun setelah Arion memberi dua lembar uang pada sang kondektur. Sebenarnya ia bohong jika tak punya sepeser pun uang. Ia masih memiliki sedikit. Tapi sedikitnya itu tak cukup untuk membawa ia bertahan hidup beberapa hari ke depan. Dan ia juga hanya ingin Sasi yang mengeluarkan uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luruh
RomanceDua puluh delapan tahun ia mengemban nyawa, tak pernah sekalipun ia menemukan apa yang menurutnya menarik dari sebuah kehidupan. Jika setiap orang memiliki peran sendiri-sendiri di semesta, dia justru menganggap dirinya sebagai kesia-siaan. Yang ma...